
Keadaan Banten setelah Mangkubumi Arya Ranamanggala
Setelah meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, kesultanan Banten
sepenuhnya di tangan Sultan Abdul Kadir. Pada masa itu hubungan Banten
dengan Batavia sedang memburuk. Banyak perampokan dan pengrusakan yang
dilakukan orang Banten terhadap milik kompeni. Karena gangguan-gangguan
ini, kompeni mengadakan ekspedisi pembersihan ke daerah-daerah kuasa
Banten.
Daerah yang menjadi sasaran ekspedisi antara lain Tanahara, Anyer dan
beberapa daerah di Lampung. Maka terjadilah pertempuran-pertempuran
sengit di daerah tersebut pada sekitar bulan Nopember 1633.
Pertempuran-pertempuran tersebut lebih banyak dimenangkan pasukan
Banten, karena kekuatan kompeni sedang melemah akibat serbuan Mataram
yang memakan waktu sangat lama.
Pada tanggal 5 Januari 1634 dikirimnya lagi pasukan laut kompeni yang
lebih kuat untuk mengepung kota Banten, maka diadakanlah blokade
menyeluruh atas daerah Teluk Banten. Pengepungan Belanda di perairan
Tanahara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja,
kuasa Banten di sana. Sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan
Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik baru.
Atas usul Wangsadipa, prajurit-prajurit Banten memuat sampah dan
rumput-rumput kering di atas beratus-ratus perahu kecil yang kemudian
dibasahi dengan minyak bakar. Pada malam hari perahu-perahu tadi
diluncurkan dekat dengan kapal-kapal kompeni. Dalam jarak yang sudah
dekat, barulah rumput kering tersebut dibakar. Dengan cara ini banyak
kapal kompeni yang ikut juga terbakar, dan akhirnya pengepungan Belanda
dapat juga digagalkan. Peristiwa pembakaran kapal-kapal kompeni itu
disebut dalam sejarah Banten dengan istilah Pabaranang.
Pertempuran-pertempuran kecil maupun besar antara Batavia dan Banten
terus berlangsung. Semuanya ini lebih banyak merugikan kompeni, padahal
kompeni sedang sibuk menghadapi perang dengan Mataram dan Makasar. Oleh
karenanya diadakanlah genjatan senjata dengan Banten pada bulan Juli
1636; tapi dalam prakteknya baru bisa dilaksanakan pada bulan Maret
1639.
Sultan Abdul Kadir, dari permaisurinya (putri Pangeran Rangga
Singasari) mempunyai 5 orang anak: Pangeran Pekik, Ratu Dewi, Ratu
Mirah, Ratu Ayu dan Pangeran Banten. Sedangkan dari istri yang lain,
Sultan mempunyai lebih dari 30 anak. Pangeran Pekik atau Pangeran Kilen
diasuh oleh paman tuanya yaitu Mangkubumi Arya Ranamanggala. Dialah yang
kemudian diangkat menjadi Putra Mahkota.
Islam mengajarkan supaya ummatnya bersatu baik dalam keadaan damai
maupun dalam keadaan perang. Mereka diwajibkan menunaikan ibadah haji di
Mekkah. Dalam kesempatan haji itulah mereka berkumpul saling memberikan
informasi tentang keadaan negaranya dan menentukan apa yang harus
dikerjakannya untuk kebesaran Islam di negaranya masing-masing.
Mereka secara tidak tertulis mengadakan koordinasi di antara
negara-negara Islam. Terbentuklah satu kekhalifahan Islam yang luas,
yang dipimpin oleh khalifah yang mengurusi/menguasai kota suci Mekkah.
Semangat Pan Islamisme dari ummat Islam — yang merasa kedaulatannya
terusik oleh kolonialis — sedang tumbuh dengan suburnya.
Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadir, antara tahun 1633 atau
1634, diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah. Utusan ini dipimpin
oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula
Pangeran Pekik, sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.
Sekitar tanggal 21 April dan 4 Desember 1638, rombongan yang diutus
ke Mekkah sampai kembali di Banten. Mereka disambut dengan upacara
kebesaran kenegaraan. Diceritakan upacara penyambutan ini dalam Sajarah
Banten sebagai berikut: “Di Banten, Sultan memerintahkan kepada
Tumenggung Wira Utama untuk membuat persiapan secukupnya bagi keperluan
penyambutan itu. Pada hari yang ditentukan, semua persiapan telah
sempurna. Setiap orang telah siap di tempatnya masing-masing.
Sultan duduk bersama pengiringnya di srimanganti. Yang menerima surat
dari khalifah Mekkah adalah Ki Pekih, di atas kapal. Ketika kapal akan
merapat, dari atas kapal ditembakkan meriam sebelas kali, yang kemudian
dibalas dengan jumlah yang sama dari perbentengan. Gemelan ditabuh dan
sekali lagi meriam ditembakkan sebagai penghormatan. Bendera dari Mekkah
dibawa oleh Kiyai Rangga Paman, sedangkan hadiah-hadiah lainnya dibawa
oleh Tumenggung Indrasupati”.
Dari Mekkah Sultan mendapat gelar kebesaran Sultan Abdulmafakhir
Mahmud Abdul Kadir sedangkan Pangeran Pekik mendapat gelar Sultan Ma’ali
Akhmad. Untuk utusan yang baru datang dari Mekkah itu, Sultan memberi
hadiah dan gelar kebangsawanan. Demang Tisnajaya mendapat gelar Haji
Wangsaraja. Labe Panji, kepala rombongan yang pertama meninggal dunia
dalam perjalanan ke Mekkah.
Tidak lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda
Sultan yakni Nyai Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah
Sultan, ibundanya dikuburkan di Desa Kenari, karena di tempat itulah
Nyai Gede Wanagiri senang beristirahat menenangkan hati. Di Desa Kenari
ini, Sultan memerintahkan untuk dibuatkan taman yang indah dengan
rusa-rusa dan binatang peliharaan lainnya, dan Sultan sering
beristirahat di taman ini setelah berziarah ke makam ibundanya.
Apabila Sultan sedang berada di istana setelah selesai penghadapan
para ponggawa, baginda duduk dengan muka menghadap ke selatan dengan
sebuah kitab di sampingnya. Sultan mengajarkan ilmu agama kepada para
istrinya, pedekan tundan, pedekan jawi, para nyai dan istri-istri para
ponggawa dan para istri mentri. Sedangkan di ruang lain berkumpul pula
para nyai sambil mengajar mengaji al-Qur’an kepada para pangeran kecil
dan putri-putri istana. Nyai-nyai ini dipimpin oleh Nyai Mas Eyang.
Memang dalam Sejarah Banten, Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai
seorang ulama yang saleh. Sultan mengarang beberapa kitab ilmu agama
yang kemudian disebarkan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Salah satu
kitab karangannya “Insan Kamil” yang kemudian diambil Dr. Snuock
Hurgronje, pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Sultan sering memeriksa kompleks istana dan keadaan rakyatnya pada
malam hari dengan ditemani oleh Ki Cili Duhung. Apabila ditemukan rakyat
yang sakit atau penderitaan lainnya, maka keesokan harinya Sultan
memerintahkan Ki Gula Geseng dan Ki Gula Ngemu (nama orang) untuk
memberikan bantuan. Sultan pun sering seserangan yaitu mengontrol
sawah-sawah kerajaan yang terletak di daerah Serang sekarang. Hasil
sawah ini di samping untuk memenuhi kebutuhan istana juga sewaktu-waktu
dijual untuk pengontrol harga beras di pasaran. Dengan demikian
kebutuhan rakyat akan beras dapat dipenuhi.
Sultan Abulma’ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut: Dari
perkawinan dengan Ratu Martakusuma (Putri Pangeran Jayakarta),
dikaruniai 5 orang anak : Ratu Kulon (Ratu Pembayun), Pangeran Surya,
Pangeran Arya Kulon, Pangeran Lor, dan Pangeran Raja. Dari perkawinannya
dengan Ratu Aminah (Ratu Wetan), mempunyai anak: Pangeran Wetan,
Pangeran Kidul, Ratu Inten dan Ratu Tinumpuk.
Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra: Ratu
Petenggak, Ratu Tengah, Ratu Wijil, Ratu Pusmita, Pangeran Arya
Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara, Pangeran
Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru.
Dalam pada itu, Cirebon biar pun tidak pernah diserang Mataram, tapi
pada tahun 1619 keadaannya sudah seperti jajahan Mataram saja. Sehingga
atas desakan Mataram, Sultan Cirebon mengancam Banten agar supaya
mengakui kuasa Mataram; dan apabila tidak maka Banten akan diperanginya.
Peringatan seperti ini ditegaskan lagi pada tahun 1637.
Karena desakan dan ancaman dari Mataram pula, maka pada tahun 1650
yakni setelah Pangeran Girilaya menjadi Sultan Cirebon menggantikan
ayahnya, Penembahan Ratu, karena Banten tidak mau tunduk pada ancaman
Cirebon, Sultan merencanakan penyerbuan ke Banten.
Dengan menggunakan 60 buah kapal, berangkatlah pasukan Cirebon ke
Banten dipimpin oleh Senopati Ngabehi Panjangjiwa. Setelah sampai
diperairan Sumur Angsana, mereka memutuskan berlayar ke hulu sungai
untuk membakar Tanahara. Rencana penyerangan pasukan ini sudah didengar
Sultan Abdul Kadir.
Maka dikirimnya satu pasukan yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila,
Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa. Mereka berangkat dengan
menggunakan 50 buah kapal perang. Sultan menjanjikan hadiah sebanyak
2000 real dan baju kebesaran kepada siapa saja yang sangat berjasa dalam
peperangan itu.
Sesampainya di Tanahara, pasukan dibagi tiga bagian. Pasukan pertama
dipimpin oleh Lurah Astrasusila, bersembunyi di Tanjung Gede. Sedangkan
pasukan kedua dan ketiga masing-masing dipimpin oleh Demang Narapaksa
dan Demang Wirapaksa, menanti di Muara Pasilian.
Pagi-pagi sekali pasukan Cirebon sudah mendarat di Pelabuhan
Tanahara. Senopati Panjangjiwa bersama sebagian kecil pasukannya
berlayar masuk ke hulu sungai untuk menyelidiki keadaan. Tapi karena
sebab yang belum jelas, Senopati Panjangjiwa meletakkan senjatanya dan
menyerahkan diri kepada Demang Wirapaksa, diikuti oleh pasukannya.
Selanjutnya, Senopati Panjangjiwa dibawa menghadap Sultan di Surosowan;
karena tindakannya itu Sultan memberi ampun dan hadiah-hadiah kepada
mereka semua.
Sedangkan pasukan Cirebon yang lain — yang sedang menunggu kabar dari
Senopati Panjangjiwa di hilir — melihat banyak senjata yang hanyut di
sungai. Mereka menyangka di hulu sungai sedang terjadi pertempuran hebat
antara pasukan Panjangjiwa dengan pasukan Banten. Dengan segera mereka
berlayar ke hulu untuk membantu temannya. Secara tiba-tiba Lurah
Astrasusila dan pasukannya menyergap pasukan Cirebon itu.
Serangan mendadak ini tidaklah mereka duga sama sekali. Pertempuran
ini berlangsung dengan hebat. Tapi akhirnya dari 60 buah kapal tinggal
satu kapal yang dapat melarikan diri dan kembali ke Cirebon, sedangkan
yang lainnya dapat ditawan atau gugur. Tentara Cirebon yang menyerah dan
ditawan semuanya dibunuh tanpa terkecuali.
Kejadian ini diberitakan kepada Sultan yang baru selesai khutbah hari
raya di Banten. Betapa marahnya Sultan mendengar berita pembantaian
tersebut. Sultan menginginkan semua yang sudah menyerah tidak boleh
dibunuh.
Karena kejadian itu, hadiah yang sudah dijanjikan ditarik kembali dan
Lurah Astrasusila diusir dari istana. Peristiwa inilah yang kemudian
dikenal dengan Peristiwa Pagarage atau Pacerebonan, yang terjadi pada
tahun 1650.
Untuk memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarage
tersebut, diadakan upacara sasapton. Jalannya pesta kemenangan ini
diceritakan sebagai berikut :
Sepanjang tepi sungai rakyat dan ponggawa ditempatkan dalam
kemah-kemah yang berjajar rapi. Sebagai tanda pengenal, mereka
menggunakan bendera-bendera yang berbeda yang berwarna-warni. Para
ponggawa duduk di bawah pohon beringin dekat srimanganti, menghadap
candi rasmi menantikan sultan keluar dari istana.
Sepanjang jalan yang akan dilalui sultan, berjejer menyambut para
priyayi: di mande mundu ditempatkan priyayi medang sebanyak dua puluh
orang, di made gayam ditempatkan priyayi parasara empat puluh orang dan
panyendekan ada priyayi kalamisani dengan kereta-keretanya.Sebagai kepala penjaga ialah Ki Suraita. Sedangkan sitinggil diurus oleh Ki Naraita yang juga menjadi kepala penyimpanan senjata dan kuda. Empat ekor kuda telah disiapkan namanya Sekardiyu, Kalisahak, Sumayuda, dan Layarwaring. Pembawa tanda kebesaran istana berjalan di muka, barulah sultan keluar dengan diiringi tabuhan gemelan sekati.
Sultan duduk di lampit yang digelar di tanah dikelilingi para mentri. Gamelan mesa patra ditabuh dan menperdengarkan lagu-lagunya. Para ponggawa telah siap di tempatnya masing-masing dan bersamaan dengan itu terdengar pula gamelan dari kemah-kemah. Pangeran Adipati Anom mengendarai kuda diiringi oleh para ponggawa dengan kudanya pula. Dan sasapton pun dimulai.
Yang menjadi bintang pada sasapton itu ialah Ratu Bagus Komala yang menunggang kuda Sekar Tinggal, demikian juga saudaranya Ratu Bagus Kencana; keduanya anak Pangeran Upapati. Mereka itu lawan Pangeran Adipati Anom yang menunggang kuda Layarwaring, kuda dari Bali.
Menjelang malam hari, sasapton itu berhenti dan sultan pun kembali ke keraton dengan diiringi lagu gemelan sekati. Ratu Bagus Kencana kemudian mendapat gelar Tubagus Singawangi dan Ratu Bagus Komala bergelar Tubagus Ewaraja.
Tidak lama setelah Peristiwa Pagarage ini, Putra Mahkota Pangeran Pekik atau Sultan Abulma’ali Ahmad meninggal dunia, setelah ia menderita sakit yang cukup lama (1650). Putra Mahkota dimakamkan di pekuburan Kenari. Sebagai penggantinya, jabatan Putra Mahkota diserahkan kepada anaknya Sultan Abulma’ali Ahmad, yakni Pangeran Surya, dengan gelar Pangeran Adipati Anom.
Tidak lama setelah itu yakni pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abumafakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di Kenari, berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya, Sultan Abulma’ali Akhmad. Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya menjadi Sultan Banten ke-5.
—————— kembali kehalaman pertama ——————
Tidak ada komentar:
Posting Komentar