Para pemberontak Geger Cilegon yang tertangkap pasuka. |
Penyebab Meletusnya Pemberontakan
Pemberontakan ini dikenal sebagai Geger Cilegon dilatarbelakangi
kesewenang-wenangan Belanda yang mulai menguasai Banten setelah
Kesultanan Banten dihapus tahun 1813.
Kebencian masyarakat makin
memuncak saat dua musibah melanda yakni dampak meletusnya Gunung
Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang menimbulkan gelombang
laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur,
dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes),
penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat
menjadi-jadi.
Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan
masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga
makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas
keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di
lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari
ke klenik (tahayul).
Pembagian pasukan Para pemberontak yang berjumlah ratusan berkumpul di markas di Pasar Jombang Wetan. Haji Wasid, pemimpin utama pemberotak, membagi para pemberontak menjadi tiga pasukan. Pasukan pertama dipimpin Lurah Jasim, seorang jaro Kajuruan, pasukan kedua dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman, dan pasukan ketiga dipimpin Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman. Sasaran serangan: penjara untuk membebaskan tahanan, kepatihan, dan rumah asisten residen di alun-alun Cilegon.
Serangan umum
Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00
dini hari. Sekitar 100 orang pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak
di Saneja, menyerang rumah Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor
asisten residen. Dumas melarikan diri dan bersembunyi di rumah
tetangganya, seorang jaksa. Istri Dumas terluka dengan dua anak
pertamanya berlindung di rumah ajun kolektor. Minah, pembantu Dumas
berusaha melindungi anak bungsu majikannya.
Haji Tubagus Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang bersembunyi di rumah seorang Tionghoa, Tan Heng Kok. Dumas menjadi korban pertama. Istrinya dan anak laki-lakinya, Alfred Dumas, terluka lalu dibawa oleh ajun kolektor ke kepatihan. Minah dan anak bungsu Dumas ditemukan di tengah sawah dalam keadaan hidup namun luka parah.
Haji Tubagus Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang bersembunyi di rumah seorang Tionghoa, Tan Heng Kok. Dumas menjadi korban pertama. Istrinya dan anak laki-lakinya, Alfred Dumas, terluka lalu dibawa oleh ajun kolektor ke kepatihan. Minah dan anak bungsu Dumas ditemukan di tengah sawah dalam keadaan hidup namun luka parah.
Anak kecil itu meninggal pada 24 Juli 1888, sedangkan Minah dibawa
suaminya, Kamid, ke rumah sakit Serang dan dirawat sampai 13 September
1888. “Babu yang berani itu kemudian dianugerahi bintang perunggu, tanda
jasa dan setia. Dia perempuan desa yang untuk pertama kalinya dihiasai
dengan bintang jasa,” kata Achmad Djajadiningrat dalam memoarnya.
Pasukan Haji Tubagus Ismail menyerang rumah asisten residen, Johan
Hendrik Hubert Gubbels, yang sedang mendampingi residen mengadakan
inspeksi ke Anyer. Mereka mendapati dua anak Gubbels, Elly dan Dora, dan
menghabisinya dengan kejam.
Haji Usman dan pasukannya menyerang Ulric Bachet, kepala penjualan
garam. Bachet bersembunyi di rumah penduduk di belakang rumahnya. Sempat
melepaskan tembakan yang menewaskan dua pemberontak, namun akhirnya dia
pun dibunuh.
Pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju rumah jaksa dan
ajun kolektor. Anak ajun kolektor, Kartadiningrat yang bisa pencak
silat, mengadakan perlawanan. Dengan senjata limbukan (gada panjang dari
kayu yang berat), Ketjik –nama kecilnya– berhasil melumpuhkan beberapa
pemberontak. Namun, dia akhirnya dihabisi oleh para pemberontak yang
jumlahnya banyak.
Sebagian pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju
penjara dan membebaskan sekitar 20 tahanan. Seorang sipir penjara, Mas
Kramadimeja, tewas. Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana,
dan kepala penjara, berhasil meloloskan diri menuju ke kepatihan. Para
pemberontak mengepung rumah kepatihan untuk mencari Patih Raden Penna,
namun tidak di tempat. Pemberontak membunuh seorang pelayan patih,
Sadiman.
Para pemberontak membawa Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa
Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat, ke
alun-alun untuk dieksekusi. Bekas tahanan, Kasidin, melampiaskan
dendamnya kepada wedana Cilegon yang menjebloskannya ke penjara.
Beberapa orang bersuara agar jangan menganiaya wedana. Tetapi, Kasidin
melompat ke muka sambil berteriak, “justru ini yang mesti didahulukan!”
“Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata
kata Achmad Djajadiningrat.
Para pemberontak kemudian membunuh Jacob Grondhout, insinyur
pengeboran pada departemen petambangan di Cilegon, dan istrinya, Cecile
Wijermans. Para pemberontak juga menghabisi Mas Asidin (magang yang
diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri
uluatau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten
residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon).
Gubbels bergegas kembali ke rumahnya di alun-alun Cilegon. Dia lebih
baik mati bila anak-anak dan istrinya telah mati. Dia tewas di dalam
rumahnya. “Mayatnya kemudian diseret ke luar rumah dan disambut dengan
pekik kemenangan yang gemuruh; asisten residen, alat utama pemerintah
kolonial, sudah mati,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan
Petani Banten 1888.
Penumpasan Pemberontakan
Setelah menduduki Cilegon, Haji Wasid memimpin para pemberontak
menuju Serang untuk merebut ibukota karesidenan dan menghabisi para
pegawainya, baik pribumi maupun Eropa. Sementara itu, bupati dan
kontrolir Serang serta Letnan van ser Star membawa sepasukan tentara
bersenjatkan 28 senjata api berangkat ke Cilegon. Terjadi pertempuran di
Toyomerto. Tentara berhasil memukul para pemberontak dengan menewaskan
sembilan orang dan beberapa luka-luka. Para pemberontak terkejut karena
untuk kali pertama melihat senapan jenis baru, bukan senapan jenis
achterlader yang digunakan untuk menumpas pemberontakan Haji Wakhia pada
1850. Moril kaum pemberontak terpatahkan; pasukan induk bercerai-berai,
pemberontakan pun mulai surut. “Oleh karena itu, kekalahan di Toyomerto
dapat dianggap sebagai titik balik dalam jalannya pemberontakan itu,”
tulis Sartono.
Tersiar sasus ke Batavia bahwa pemberontakan berkobar di seluruh
Banten dan Serang dikepung oleh 5.000 pemberontak. Informasi yang
samar-samar itu membuat pemerintah di Batavia mengirimkan kekuatan yang
begitu kuat. Satu batalion mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu
bersamaan, kavaleri juga dalam perjalanan menuju Serang.
Tentara telah menawan ratusan pemberontak, namun para pemimpinnya
belum juga ditemukan. Pemerintah pun menjanjikan imbalan 1.000 gulden
bagi siapa saja yang dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak.
Haji Wasid dengan 27 orang (pemimpin dan pengikut) –kemudian menyusut
menjadi 21 orang– memutuskan mundur ke belantara Banten Selatan melalui
rute sepanjang pantai barat. Rencana ini, menurut Sartono, didasarkan
atas janji yang telah diberikan oleh Haji Marjuki bahwa dia akan kembali
dengan Kiai Agung Abdul Karim dan haji-haji terkemuka lainnya dari
Mekah untuk menggabungkan diri dalam perjuangan –apabila mereka dapat
melanjutkan jihad selama setahun lagi. Pemimpin lain, Haji Madani, Haji
Jahli, dan Agus Suradikaria, menolak ikuti ke Banten Selatan dan
memisahkan diri.
Pada 17 Juli 1888, Haji Iskak menjadi pemimpin pertama yang tewas
setelah menyerang tentara. Beberapa hari kemudian, Haji Madani, Haji
Jahli, Agus Suradikaria, Haji Nasiman, Haji Kasiman, dan Haji Arbi,
menemui ajalnya.
Sementara itu, Haji Wasid dan pemimpin serta pengikutnya long march
ke arah Banten Selatan. Pada 30 Juli 1888, ekspedisi tentara mengakhiri
pelarian mereka di daerah Sumur. Para pemberontak memberikan perlawanan
meski akhirnya dilumpuhkan. Tentara membawa mayat mereka ke Cilegon dan
diidentifikasi sebagai Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani,
dan Haji Usman. Dua mayat jatuh ke sungai dan dinyatakan hilang meski
kemudian satu mayat ditemukan. Sementara itu, Haji Jafar, Haji Arja,
Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, meloloskan diri. Bahkan, Haji
Sapiudin, Haji Kalipudin, dan Haji Abdulhalim, melarikan diri sampai ke
Mekah.
“Operasi pengejaran dilancarkan sampai ke Jedah dan Mekah, di mana
kiai-kiai Banten yang terkemuka –seperti Haji Abdul Karim dan Haji
Marjuki– terus dimata-matai oleh agen Belanda. Sesungguhnya pihak
berwajib menganggap kedua haji itu sebagai dalang utama gerakan
pemberontakan,” tulis Sartono.
Korban Pemberontakan
Korban Pemberontakan
Korban tewas oleh pemberontak: 17 orang. Korban luka-luka oleh
pemberontak: 7 orang. Pemberontak yang tewas: 30 orang, 11 di antaranya
dihukum gantung. Pemberontak yang luka-luka: 13 orang. Pemberontak yang
dibuang: 94 orang. Tempat pembuangan: Tondano, Gorontalo, Padang,
Kupang, Salayar, Kema (Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate,
Ambon, Muntok, Payakumbuh, Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock
(Bukittinggi), Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai,
Sulawesi Selatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar