Masih banyak orang yang bertanya berasal dari kata apakah Bandung itu ? Kata Bandung, diperkirakan sejak tahun 1488 sudah disebut-sebut sebagai bagian dari kerajaan Pajajaran. Dalam buku buah Karya Valentijn tahun 1726, pada petanya tercantum nama Bandong,
yang terletak di sebelah selatan Gegerkalong Hilir, sebelah Sungai
Citarum dan pusatnya terletak di bagian barat kali Cikapundung.
Seorang
sastrawan sekaligus budayawan, dan politikus pada jaman itu, yaitu KH.
Hasan Mustafa berupaya mengupas apa arti kata Bandung, baik menurut arti kata
maupun situasi kondisi alam yang melingkupinya. Apa yang diungkapkannya
dapat dijadikan dasar untuk menginterpretasikan kata tersebut. Bandung sama dengan kata Bandungan yang berarti parahu paranti ngarungkupkeun heurap dina situ atawa wiletan ‘Perahu yang dipergunakan untuk menebarkan jaring dalam sebuah situ atau wiletan’. Kata Bandung dapat diartikan sama dengan pujian, minangka tungtung kapujian, cara dina elmu répok Lumbung Bandung sabab sok kongas eusina loba ‘merupakan pujian, seperti dalam elmu répok Lumbung Bandung, sebab termashur banyak isinya’. Atau Sumur Bandung caina tara saat-saat ‘Sumur Bandung airnya tidak pernah surut’. Kalimat lain menyatakan Dayeuh Bandung, ceuk kolot Bandung, gawena keur ngabandungan ka peuntas nagara Batulayang (Banjaran) nu matak aya basa “peupeuntasan dayeuh Bandung” ‘Menurut orang tua dahulu Kota Bandung berfungsi untuk menyimak
atau memperhatikan ke arah sebarang Negara Batulayang (Banjaran),
karena itu ada kata “Seberang Dayeuh Bandung”. Bandung sarua jeung bendung, rasiahna ngabendung nu kudu kandel bendungan bisi kabuka wiwirangna ‘Bandung sama dengan bendung, rahasiahnya membendung suatu bendungan agar tidak terbuka kejelekannya’(KH. Hasan Mustafa, Bale Bandung, 10 Agustus 1924).
Sementara itu Suryadi menyitir asal nama Kota Bandung diambil dari perkataan bendung
(ngabendung atawa nambak situ) duméh baheulana tanah padataran Bandung
asalna situ hiang (talaga). Nurutkeun galur nu kapihatur, carita nu
baheula nu boga alpukah nyipta ngabendung éta situ hiang téh Nyi
Rarasati anu jaman ayeuna disarebut Nyi Dayang Sumbi. ‘Nama kota
Bandung diambil dari kata bendung hal ini disebabkan dataran tanah Kota
Bandung berasal dari sebuah danau atau telaga yang bernama Situ Hiang.
Menurut cerita orang, yang menciptakan danau tersebut adalah Nyi
Rarasati atau yang sekarang kita kenal dengan sebutan Nyi Dayang Sumbi’
(Suryadi, 1974).
Dalam Kamoes Soenda, karangan Satjadibrata halaman 28, dikatakan bahwa pengertian kata Bandoeng artinya banding; ngabandoeng artinya ngarèndèng ‘berdampingan’; bandoengan artinya parahoe doea dirèndèngkeun makè sasag ‘dua perahu yang berdampingan disatukan dengan mempergunakan bambu yang dianyam; ngabandoengan artinya ngadèngèkeun nu keur matja atawa nu keur ngomong ‘menyimak
orang yang sedang membaca atau yang sedang berbicara’. Melihat
pengertian bahwa arti bandung, dalam bahasa Sunda identik dengan kata
‘banding’ dalam bahasa Indonesia, yang artinya ‘berdampingan’. Ngabanding berarti ‘berdampingan’ atau ‘berdekatan’. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia (1996), bahwa kata bandung berarti ‘berpasangan’ yang berarti pula ‘berdampingan’. Pendapat lain mengatakan bahwa kata bandung mengandung arti ‘besar’ atau ‘luas’. Menurut salah seorang informan di Bandung, kata bandung itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng adalah sebutan untuk ‘genangan air yang luas dan tampak tenang namun terkesan menyeramkan’. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi bandung. Ada pula pendapat menyatakan bahwa kata bandung berasal dari kata bendung.
Pendapat-pendapat tentang asal kata dan arti kata bandung
tersebut di atas, diduga berkaitkan dengan peristiwa terbendungnya
aliran Sungai Citarum oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu, sehingga
terbentuk sebuah danau besar. Danau ini kemudian dikenal dengan sebutan
‘Danau Bandung’ atau ‘Danau Bandung Purba’. Dalam cerita rakyat
Sangkuriang, terbentuknya ‘Danau Bandung’ dan Gunung Tangkuban Parahu
terjadi dalam waktu satu malam. Dalam cerita itu, Sangkuriang putera
Dayang Sumbi, yang diusir oleh ibunya. Setelah dewasa, ia bertemu
kembali dengan ibunya dan jatuh cinta. Namun ketika Dayang Sumbi
mengetahi bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya sendiri, dengan berat
menerima permintaan Sangkuriang dengan syarat Sangkuriang harus membuat
danau dan perahu dalam waktu satu malam. Kiranya penyebutan ‘Danau
Bandung’ pun terjadi setelah di daerah bekas danau itu berdiri
pemerintah Kabupaten Bandung (Sobana, 1999).
Namun ketika penulis membolak-balik buku tulisan Haryoto Kunto, dapat ditemukan bahwa kata Bandung, berasal dari kata Bandong,
sesuai dengan penemuan sebuah negeri kecil oleh seorang Mardijker
bernama Julian de Silva. Dan tercatat pula bahwa Dr. Andries de Wilde,
seorang pemilik kebun kopi yang sangat luas di daerah ini, meminang seorang gadis dan kemudian menikahinya yang berasal dari Kampung Banong (di daerah Dago Atas). Kata Banong adalah sama dengan kata Bandong, karena terjadi nasalisasi, konsonan rangkap [bandong = b a nd o ŋ ] menjadi [ b a n o ŋ ], contoh lain dalam kata [ s ə nd a l ] menjadi [ s ə n a l ] ‘sandal’.
Beranalogi
dari nama tempat atau nama beberapa sungai di Kota Bandung, nama-nama
tersebut banyak mengambil dari nama-nama pohon yang tumbuh di alam
sekitarnya; contoh Cibaduyut berasal dari nama pohon baduyut ‘Frichosanthes villosa BL’; Kampung Binong berasal dari nama pohon binong ‘Sterculia Javanica’; Dago yang kini semarak dan ramai, di samping nama itu berasal dari nama sebuah pohon Dago Kancil ‘Palem – Calamusconirostris’, juga berasal dari kata (b.Sunda) padago-dago ‘saling menunggu’ antara para pedagang gowengan (pedagang yang membawa barang dagangannya dengan cara dibawa di atas kepala atau disuhun) di sebuah perempatan di desa Coblong sekarang. Begitu pula dengan nama Sungai Cikapundung, berasal dari nama sebuah pohon kapundung ‘Baccaurea dulcis MUELL’ atau nama Sungai Citarum berasal dari kata tarum ‘Indigofera spec’ atau Tarum areuy
‘Marsedenia tinctoria R.BR’. Kata Bandung, penulis berpendapat berasal
dari sebuah nama pohon Bandong ‘Garcinia spec’ (Heyne : 1950 Jilid III, pada halaman 2233, menyebutkan bahwa Bandong ‘Garcinia spec’ sejenis
pohon yang tingginya 10 - 15 m dan besar batangnya 15 - 20 cm, dengan
batang tak bercabang. Pohon ini dieksploitasi setelah berumur 20 - 30
tahun, dengan cara menoreh kulit kayu sedalam 2 - 3 mm akan mengalirkan
cairan kekuning-kuningan. Menurut Wiesner’s Rohstoffe digunakan untuk
pengobatan, mewarnai pernis-pernis spirtus, lak emas ‘goudlak’, cat air
dan fotografi. Jadi nama Bandung berasal dari Bandong yang sesuai dengan
sebuah nama kampung yang telah ditemukan oleh seorang Mardijker bernama Yulian de Silva di atas.
Kini
Kota Bandung berkembang menjadi sebuah kota metropolitan, yaitu sebuah
kota yang memiliki sejuta kata cemoohan, pujian, dan sanjungan mulai
dari kata yang paling brengsek hingga kata sanjungan indah dan enak di
dengar telinga. Sanjungan pertama datang dari seorang Arie Top yaitu
perwira Kompeni yang dibuang ke daerah ini, pada tahun 1742 Bandung
dikenal dengan sebutan Paradise in Wxile ‘sorga dalam
pengasingan’. Ada lagi istilah Bandung sebagai kota Paris van Java,
sebutan ini sebetulnya bukan sebuah sanjungan, melainkan sebuah
sindiran dari seorang ahli tata kota. Dimana Kota Bandung tidak
mencirikan sebuah kota yang mandiri dengan ciri-ciri tradisionalnya.
Malah dalam cara membangun bangunan-bangunan yang ada di Kota Bandung,
para arsitek Belanda, kurang memperhatikan sifat-sifat kedaerahan
‘hindische’-nya, sehingga arsitek Hendrik Berlage memberikan julukan Bandoeng Parijs van Java. Julukan Bandoeng Parijs van Java muncul ketika Congres Internationaux d`architecture moderne “CIAM”
yang diselenggarakan di kota Chateau de la Sarraz, Swiss pada bulan
Juni 1928. Perwakilan arsitek dari Bandung pada waktu itu adalah Hendrik
Berlage. Ia menyidir bahwa Kota Bandung dalam pembangunannya yang
berkiblat ke barat-baratan dan lebih terpaut ke Kota Paris, tidak
menonjolkan ciri khas tropisnya dan tidak mencerminkan kepribadian yang
mandiri (Majalah Mooi Bandoeng, 1935). Walupun julukan itu merupakan
sindiran, namun pada akhirnya julukan itu menjadi termasuh ke seluruh
dunia, karena Bandung menjadi proto tipe kota Kolonialle Stad ‘kota kolonial’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar