Disarikan dari Buku “Catatan Masa Lalu Banten”, Drs
Halwani Michrob, MSc, Drs A. Mudjahid Chudori, Penerbit Saudara, Serang 1993
130 M Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak) yang
beribukota Rajatapura yang terletak di pesisir barat Pandeglang.
Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar
Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
• Kerajaan Agrabinta di Pulau Panaitan
• Kerajaan Agnynusa di Pulau Krakatau
• Dan daerah ujung selatan Sumatera
165 M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam peta yang dibuat oleh Claudius
Ptolomeus sebagai bagian dari jalur pelayaran dari Eropa menuju Cina dengan
melalui India, Vietnam, ujung utara dan pesisir barat Sumatera, Pulau Panaitan,
Selat Sunda, terus melalui Laut Cina Selatan sampai ke Daratan Cina.
Abad 5 M Prasasti Munjul yang diperkirakan berasal dari abad ke V masehi
ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul – Pandeglang.
Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan bahwa raja
yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan
Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada saat
itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
Abad XII – XV Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran.
Abad XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran
didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh
Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
Abad XVI Awal abad ke XVI, Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun (Dalam
Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat pemerintahannya
terletak di Banten Girang, yang dihubungkan dengan pelabuhan Banten melalui
Sungai Cibanten, dan melalui Klapadua sebagai jalur darat.
1513 M Tome Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten
merupakan pelabuhan kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan
perniagaan dengan Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan
pengekspor beras, bahan makanan dan lada.
Pada masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah
Cimanuk, dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten.
1511-21 M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan
disusul dengan takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk
kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga dibebani misi untuk menghancurkan
agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa Portugis memonopoli perdagangan
rempah rempah di Asia Tenggara, dan memberlakukan peraturan peraturan yang
memberatkan bagi para pedagang terutama yang beragama Islam. Kondisi ini
membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dan bangsa lain enggan untuk
berniaga ke Malaka dan mengalihkannya ke Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang semakin
pesat dan lama kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian barat
pulau Jawa.
1521 M Dengan semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan timur,
timbul kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya agama Hindu selaku
agama resmi kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di daerah pantai.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu
Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata) melakukan :
• Pembatasan pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan
pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
• Menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di
Malaka, agar dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan
mengutus putera mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka.
1522 M 21 Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani
perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga
Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain :
• Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa
• Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai
penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.
• Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan
lainnya.
• Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada
setiap tahunnya kepada Portugis.
1525 M Pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran
Cirebon, Dipati Cangkuang, dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di bawah
pimpinan Hassanudin dapat menguasai Banten.
Untuk menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin kemudian diangkat
menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang.
1526 M Atas petunjuk dari Sunan Gunung Jati, ibukota Banten dipindahkan ke
dekat pelabuhan Banten, yang kemudian disebut dengan Surosowan. Berdasarkan
beberapa data, pemindahan ibukota ini dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H
yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
1527 M Terdengar kabar, Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap telah
meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini, Demak, Banten,
dan Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda Kelapa dapat dikuasai pada
tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat untuk menjadi Adipati Sunda Kelapa.
Sebagai tanda kemenangan, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, yang
berarti Kota Kemenangan.
Armada Portugis yang datang dari Malaka untuk melaksanakan perjanjian tahun
1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah Sunda Kelapa dikuasai pasukan
Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa melakukan perang terbuka di
perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat perlawanan hebat dari pasukan
Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda Kelapa.
Setelah Jayakarta berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin dan
Fatahillah bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta.
Hassanudin bertanggung jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan
kemasyarakatan, sedangkan Fatahillah bertanggung jawab menangani keamanan dan
pertahanan wilayah. Sehingga pada masa itu Islam menyebar dengan pesat dan
keamanan negara terjamin. Kedua penguasa di Jawa Barat memerintah atas nama
Sultan Demak.
1552 M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status Banten
ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk sebagai raja
pertama. Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah (menantu dari Sunan Gunung
Jati) diangkat menjadi raja di Cirebon, mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan
mangkatnya raja Cirebon, Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun
tersebut. Untuk menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran
Bagus Angke, menantu Sultan Hassanudin.
1552-1570 M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten
dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M.
Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat
pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di
pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama Surosowan ini
memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati sungai jernih yang
dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Kota Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan
bangunan pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan meriam.
Di tengah kota terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan ketentaraan,
kesenian rakyat dan juga sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di
sisi selatan alun alun, disampingnya dibangun bangunan datar yang ditinggikan
dan diatapi yang disebut srimanganti, sebagai tempat raja bertatap muka dengan
rakyat. Di sebelah barat alun alun dibangunlah Masjid Agung Banten.
Sultan Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih
menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping memperluas
lahan pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya, Banten telah menjadi
pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan utama dan penghubung
pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan kerajaan kerajaan di
Nusantara.
Cara jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga sudah mulai
digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan adalah Real
Banten dan cash cina (caxa).
Terjadinya krisis kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568 M,
mendorong Sultan Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan Demak dan
menjadikan Banten kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu, wilayah Kesultanan
Banten telah meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung, Inderapura, sampai
Solebar.
Sultan Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung.
Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan Sedakinking.
Sebagai penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten ke 2.
1570-1580 M Sultan Maulana Yusuf
Pada masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi pembangunan dititik
beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian.
Pada saat itu, perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten merupakan tempat
penimbunan barang barang dari seluruh dunia yang nantinya akan disebarkan ke
seluruh nusantara.
Dengan majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan
menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan penduduk
pribumi maupun pendatang membuat diberlakukannya aturan penataan dan penempatan
penduduk berdasarkan keahlian dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk
orang asing biasanya ditempatkan di luar tembok kota, seperti Pekojan yang
diperuntukan bagi pedagang muslim dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah
barat pasar Karangantu, Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina
ditempatkan di sebelah barat Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan
pengelompokan pemukiman ini selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota
juga untuk kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan
kota.
Selain penataan pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok
keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat
dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit
disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan bangunan
menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal Mongolia.
Untuk kepentingan irigasi bagi persawahan yang berada di sekitar kota dan untuk
pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di buatlah danau buatan
yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan
khusus ke danau ini, yang kemudian disalurkan ke daerah daerah sekitar danau.
Dengan melalui pipa pipa terakota, setelah diendapkan di Pengindelan Abang dan
Pengindelan Putih, air yang sudah jernih dialirkan ke keraton dan tempat tempat
lain di dalam kota. Di tengah danau buatan ini juga dibuat pulau kecil yang
digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga keraton.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede
dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran
Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti,
diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada waktu itu baru berusia 9
tahun.
1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf berhasil merebut
Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan
Pajajaran.
Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau Prabu
Surya Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari,
karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan di gunung Pulosari,
Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan Maulana Yusuf pada
tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H.
Setelah berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan Pajajaran diislamkan dan
dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat menjamin stabilitas
keamanan di seluruh wilayah Banten.
1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan
kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di
pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten
mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat
dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan
orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai.
Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui
semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk.
Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan
pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran
agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan membangun masjid
hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib dan imam untuk setiap
shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah
dengan melapisi dinding dengan keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk
tempat shalat perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau
pawadonan.
Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke
Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan dari
Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak ketika
memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi.
Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid
Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing
Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul
Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda
pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah
lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya.
Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit
dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga
kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk
merebut tahta kerajaan.
Pada saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian dikembalikan
ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri yang telah menikah
kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk sebagai Mangkubumi. Mangkubumi
yang baru ini, dalam kenyataannya banyak menerima suap dari pedagang asing,
sehingga tidak memiliki wibawa dan keputusannya lebih banyak tidak ditaati.
Kekacauan di dalam negeri semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena
Mangkubumi lebih sibuk mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang
Belanda dengan pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya
perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di tahun
1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan oleh Pangeran
Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan atas usaha Pangeran
Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian antara semua pihak. Salah satunya
adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala sebagai Mangkubumi dan wali dari
sultan muda, semenjak itu Banten menjadi aman kembali.
Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara beda ibu dengan
Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi, tindakan utama
yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan Banten dan menegakan
peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang bahkan Sultan sendiri tidak
diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara demikian, Banten dapat
terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari dalam amupun luar negeri.
Mangkubumi dalam menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau memihak pihak
manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil :
• Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang
Belanda
• Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang
sebelumnya tidak terkena pajak
• Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini
dilakukan agar pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku
pedagang Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam
negeri Banten.
Disarikan dari Buku BANTEN DALAM PERGUMULAN SEJARAH:
sultan, ulama, jawara. karangan Nina H Lubis, penerbit LP3ES.
Melihat namanya ia rupanya seorang bangsawan, tetapi biarlah kebangsawanan ini
sebagai tambahan pengetahuan saja. Yang penting ialah Jonkheer Jan de Rovere
van Breugel adalah seorang pejabat VOC di Banten. Pada tahun 1788, ia terpaksa
meninggalkan jabatannya pada maskapai dagang Belanda yang semakin lama semakin
berfungsi sebagai sebuah “negara” itu. Peristiwa ini pun tak pula penting.
Pulang kampung dan meletakkan jabatan bukanlah pula hal yang harus
dibesar-besarkan. Akan tetapi, yang menarik ialah ternyata setahun sebelum ia
“pulang negeri”, raden mas Belanda ini sempat menyelesaikan dua memorandum
panjang, yang masing-masing berjudul Berschijving van Banten en de Lampong
(Uraian tentang Banten dan Lampung) dan Bedenkingen van den staat van Bantam
(Pemikiran tentang Banten). Namun, barulah pada tahun 1857 – hampir enam
dasawarsa kemudian – ringkasan dari kedua memorandum panjang ini diterbitkan
dalam majalah Bijdragen tot Taal-,land-,en volkenkunde (biasa dipendekkan
dengan BKI saja, terbitan KITLV), sebuah majalah yang sampai sekarang masih
terbit bahkan telah semakin bersifat internasional.
Pada pengantar dari memorandum yang telah diperpendek itu, redaksi majalah
mengatakan bahwa sebenarnya naskah lengkap dari sang bangsawan lokal ini akan
diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschaap- sebuah organisasi keilmuan yang
tertua di negeri yang kemudian bernama Hindia Belanda ini. Akan tetapi, rencana
penerbitan ini dibatalkan karena Gubernur Jenderal Alting menasehati sang
pengarang agar mau mengurungkan niatnya. Soalnya kedua naskah memorandum
itu-entah sengaja, entah tidak, tetapi lebih mungkin karena keasyikan berkisah
saja-ternyata banyak juga membicarakan hal-hal yang mestinya tidak boleh
diketahui umum. Jadi rahasia dari masa-masa akhir hidup VOC termuat juga dalam
naskah ini. Coba saja pikir pejabat yang bergelar Jonkheer ini antara lain
mengusulkan agar VOC menurunkan tingkat administratif Banten hingga dengan
begini jumlah tentara yang diperlukan cukup 185 orang saja, tidak lagi 372
orang. Soalnya Banten cukup dekat dari Batavia dan lagi – dan ini rupanya
penting juga – “kemiskinan sang raja telah meniadakan kemungkinannya untuk
melakukan apapun”. Maka dengan pengurangan biaya ini kerugian finansial VOC
bisa ditekan. Bukankah sudah umum juga diketahui bahwa salah satu sebab utama
VOC dilebur dan daerah-daerah di Kepulauan Indonesia yang telah berada di bawah
dominasi VOC dijadikan sebagai bagian dari sebuah negara kolonial yang disebut
Hindia Belanda ialah karena VOC telah mengalami kebangkrutan?
Tentu sekarang kita bisa berkata bahwa kalau dihitung-hitung umur VOC lebih
panjang daripada Hindia Belanda. VOC sempat hidup sampai dua abad kurang dua
tahun (1602-1800), sedangkan umur Hindia Belanda hanya 142 tahun saja. Kalaupun
ingin berpikir secara legalistik yang kaku paling-paling hanya bisa ditambah
empat tahun tambah beberapa bulan – sejak menyerahnya Jepang hingga “penyerahan
kedaulatan”. Akan tetapi, yang akan mau mengakui cara berpikir legalistik
konyol ini, siapa lagi selain kaum konservatif Belanda? Jadi, tak perlu heran
kalau masyarakat awam masih menyebut pemerintah kolonial Belanda “kompeni”,
meskipun Hindia Belanda telah berkuasa.
Namun demikian, sudahlah, yang jelas kedua naskah
memorandum yang telah diperpendek itu diterbitkan ketika Pemerintah Hindia
Belanda telah asyik dengan politik “tanam paksa” atau cultuurstelsel di Pulau
Jawa. Politik ini bukan saja dengan ekstrem mengeksploitasi anak negeri dan
menjadikan mereka terpaku pada desa masing-masing, tetapi juga serta merta
mengikis tradisi maritim Jawa yang dinamis. Kalau begini keadaannya nilai
aktualitas dari memorandum itu telah membuyar. Karena itulah barangkali
ikhtisar memorandum kurang begitu menarik perhatian.
Apalagi pada waktu diterbitkan, Banten telah pula sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan Belanda. Policy apalagi yang akan dijalankan berdasarkan memorandum
itu? Bisalah pula dipahami bahwa barulah ketika Ann Kumar, sejarawan Australia
yang ahli Jawa, menulis tentang hubungan Jawa dan Belanda (Java and Modern
Europe, 1997) ia merasa perlu menjadikan tulisan dari van Breugel ini sebagai
bahan kajiannya. Ia pun “berbaik hati” juga mengikhtisarkan lagi ikhtisar
naskah sang Jonkheer, tetapi kali ini dalam bahasa Inggris.
Dengan membaca “ikhtisar dari ikhtisar” ini kita mengetahui juga dasar
keinginan van Breugel untuk menerbitkan kedua memorandumnya dan bisa pula
memahami pertimbangan majalah BKI untuk menerbitkan ikhtisarnya sekian puluh
tahun kemudian. Tampak sekali bahwa sang pengarang berharap agar memorandumnya
ini bisa mempengaruhi kebijakan politik kolonial yang dijalankan. Akan tetapi,
sayang juga ketika akhirnya diterbitkan tulisannya hanya bermanfaat sebagai
salah satu sumber sejarah saja.
Soalnya ia sebenarnya melihat masa depan yang cerah juga bagi Banten, jika saja
usul-usulnya bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan, tetapi sudahlah, yang
jelas tulisan Jonkheer de Rovere van Breugel boleh dikatakan bercorak
ensiklopedis tentang Banten. Ia berbicara tentang wilayah dan kota,
pemerintahan (raja, bangsawan), penduduk dan adat, hasil bumi dan perdagangan
serta hal-hal lain lagi. Meskipun ia sangat menaruh perhatian pada
sumber-sumber ekonomis Banten dan Lampung, tetapi ternyata hampir tidak ada
aspek kehidupan dan dinamika ekonomi-politik yang tidak dibicarakannya. Dalam
tulisannya tampak pula bahwa ia adalah seorang pengamat situasi sosial yang
cukup jeli juga.
la mungkin tak bisa menerangkan mengapa “itu harus begitu” dan “mengapa ini
harus begini”, sebagaimana yang mungkin bisa dilakukan oleh ahli anthropologi
modern, tetapi ia dapat saja bercerita tentang apa saja yang kebetulan dilihat
dan diamatinya. Dalam memorandum ini, van Breugel membayangkan juga suatu saat
Banten akan bisa bangkit lagi jika saja VOC menjalankan kebijakan yang baik.
Hanya saja, tentu bisa juga dimaklumi kalau dalam melihat dan mengamati
masyarakat Banten ia tak bisa melepaskan landasan penilaian yang bercorak Belanda.
Maka, janganlah kaget kalau ia mengatakan bahwa menurut pengamatannya laki-laki
Banten itu sesungguhnya pemalas. Mereka membiarkan saja para isteri mereka
bekerja mengurus rumah tangga. Mereka lebih sibuk minum-minum – tentu saja
bukan air – makan-makan sirih dan menunggang-nunggang kuda. Bahkan, kalau saja
pengamatannya tidak terlalu bias, laki-laki Banten itu, katanya lagi,
membiarkan saja perdagangan dikuasai para pendatang yang disebut “Orang dagang”
. Anak-anak umur delapan atau sepuluh telah dipertunangkan, meskipun mereka
masih tinggal di rumah orang tua. Pertunangan ini bisa juga dibatalkan, tetapi
akibatnya orangtua anak perempuan akan kehilangan pembayaran yang telah mereka
lakukan.
Pesta perkawinan diadakan di rumah penganten perempuan, sedangkan tamu-tamu
datang dengan membawa hadiah, biasanya buah-buahan. Sang pejabat yang bangsawan
ini rupanya pernah juga beberapa kali menghadiri upacara pernikahan orang
Banten, sebab ia bisa juga berbicara agak panjang lebar tentang situasi dari
upacara perkawinan itu, Tentang agama, ia mengatakan bahwa orang Banten itu
beragama Islam tetapi orang Lampung menganut kepercayaan yang merupakan
percampuran “ajaran Muhammad” dengan sistem kepercayaan yang masih kafir, dan
digabung lagi “dengan takhyul yang paling bodoh”.
Orang Banten mempunyai hukum juga, tetapi, kata van Breugel, pada umumnya
mereka lebih suka mengikuti hukum alam saja — darah dibayar dengan darah,
pencurian dibayar dengan penjara atau perbudakan yang kadang-kadang bisa
sebagai hukuman bagi hutang yang tak dibayar. Kalau saja interpretasi sosial
boleh diberikan terhadap uraiannya ini maka bisalah dikatakan bahwa masyarakat
Banten, yang disaksikan van Breugel, sedang berada dalam situasi kemelut yang
parah juga.
Bagian yang terpenting dari memorandum ini ialah
uraian tentang komoditi perdagangan dari Banten dan Lampung: lada, kopi, ndigo,
gula, pinang, kelapa, kayu sandalwood, beras, dan sebagainya. la menguraikan
satu persatu komoditi ini. la menguraikannya mulai dari tempat tumbuh dan cara
pemeliharaan sampai dengan prospek perdagangannya, la juga bercerita tentang
perdagangan candu yang dikuasai Letnan Cina dan berkisah pula tentang betapa
maraknya penyelundupan barang haram ini. Cerita yang mengasyikkan juga ialah
tentang bajak laut. Orang Mandar, katanya, adalah yang paling aktif dalam
penyelundupan, artinya mereka sering berhasil mengelakkan monopoli VOC. Tentang
usaha pemberantasan perompakan ia mengusulkan agar kekuatan armada Banten
diperkuat, umpamanya dengan memberi bantuan mesiu.
Akan tetapi, bagaimanakah keadaan ibu kota Banten? Kalau tentang desa ia
mengatakan bahwa desa orang Banten sangat tak beraturan, sedangkan tentang ibu
kota, ia melukiskan tentang dinding-dinding yang dulu pernah mengitari ibu kota
sekarang telah hancur lebur berantakan. Perbentengan telah hancur dan di atas
runtuhan itu rumah-rumah baru didirikan karena jumlahnya cukup banyak inilah
Banten, katanya, “masih bisa disebut kota”. Rumah-rumah umumnya terbuat dari
bambu, hanya sebagian kecil saja memakai bingkai kayu, sedangkan para pejabat
negara, seperti menteri dan “pendeta” (maksudnya barangkali kadhi kerajaan) dan
beberapa orang lain mempunyai rumah batu. Orang Cina tinggal di dua kampung
yang dipenuhi oleh rumah tembok batu juga. Istana raja dikelilingi benteng
berbentuk setengah bulan, yang diperkuat dengan 58 meriam, tetapi untuk
pertahanan istana yang dikelilingi benteng ini tak ada artinya apa-apa. Di
sekeliling benteng itu ada perumahan VOC. Ada tiga pasar di Banten, yaitu
Karang Antu, Tumanggung, dan sebuah pasar baru. Akan tetapi, semua pasar itu
mengalami kemunduran , tidak lagi seperti dulu ketika Banten masih megah.
Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Sultan Abul Nazar Muhammad, yang
menurut van Breugel, sangat dipengaruhi oleh “paus-paus orang asing” (maksudnya
tentu saja ulama-ulama dari negeri lain). Mereka semakin berpengaruh saja di
kalangan masyarakat Banten, bukan saja di kalangan kraton. Ketika menyebut
“paus” ini van Breugel sama saja dengan para penulis Belanda lain. Kata “paus”
adalah sebutan ejekan bagi ulama. (Belanda abad ke-18 sangat anti-Katholik
rupanya). Van Breugel jengkel juga karena ia melihat sang Sultan tidak menaruh
hormat lagi pada VOC.
Bukan itu saja, menurut pengamatannya, Sultan asyik dengan segala macam
kemewahan, padahal kesultanan telah jatuh miskin. Akibatnya, tentu bisa diduga,
Sultan berhutang ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya Sultan ini seorang yang baik
hati, katanya, sayang ia tidak mempunyai penasehat yang baik, sedangkan para
bangsawan sangat tergantung kepada Sultan, yang malah sibuk menghalangi mereka
untuk berhubungan dengan orang Eropa.
Pada umumnya para bangsawan ini sudah cukup puas dengan tempat tinggal yang
menyenangkan, perahu-kesenangan, dan dikelilingi oleh wanita-wanita cantik.
Pengawas gudang lada sang raja ialah seorang yang bernama Kiai Aria
Astradinata. la adalah anak seorang tukang batu Cina yang telah disunat
(maksudnya tentu saja, telah masuk Islam). Jabatan sebagai kepala gudang ini
dianggap sebagai sesuatu yang turun temurun. Paman raja, Pangeran Raja Kusuma,
kata van Breugel, adalah seorang yang alim, tetapi ia tampaknya agak serakah.
Ia telah tua dan uzur dan hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah serta
menangisi nasib tanah airnya yang hari demi hari dilanda kemerosotan.
Ketika Van Breugel menulis tentang Pangeran Raja Kusuma ini ia mungkin merasa
simpati juga. Ia bisa juga merasakan apa artinya hidup ketika kejayaan lama
hanya tinggal kenangan belaka. Kesedihan sang pangeran tua ini tentang
kemerosotan negerinya tentu bisa dimaklumi. Sang Pangeran yang hidup pada abad
ke-18, tentu saja tidak mengalami secara langsung masa ketika Banten adalah
kerajaan yang makmur dan disegani dan merupakan salah satu kerajaan yang
terkuat di Kepulauan Nusantara ini, tetapi pengetahuan akan masa gemilang yang
telah hilang itu tak begitu saja terpupus dalam ingatan kolektif Banten. Bahkan
asal usul berdirinya kerajaan pun masih segar dalam ingatan kolektif anak
negeri.
Bilamana situasi kesekarangan telah dirasakan semakin mencekam bagaimanakah ingatan
akan masa lalu yang telah lewat itu akan hilang begitu saja? Bukankah nostalgia
kultural itu sesungguhnya tidak lain daripada perlawanan terhadap tirani sang
waktu? Dengan bernostagia, perjalanan waktu dijadikan tak berfungsi dalam
kesadaran. Ketika perasaan kerinduan ini telah semakin mencekam, karena situasi
kesekarangan telah sedemikian menista harga diri, maka masa lalu tiba-tiba bisa
saja berubah menjadi “masa depan” yang harus dirangkul dengan segera.
Janganlah pula heran bilamana kepedihan masa kini telah semakin keras
dirasakan, maka tarikan masa lalu yang telah dirasakan sebagai “masa depan” itu
semakin keras dan menggetarkan juga. Kalau telah begini, maka “terjadilah apa
yang harus terjadi”. Kita pun berhadapan dengan salah satu irama yang hampir
menetap dari sejarah Banten setelah kejayaan kerajaan telah terlepas dari
tangan.
Asal-usul Banten sebagai sebuah kerajaan Islam agak
unik juga. Kerajaan ini tidak bermula dari tumbuhnya dan membesarnya sebuah
kekuasaan lokal, tetapi muncul sebagai akibat dari ekspansi kekuasaan dari
luar. Dalam usaha untuk meluaskan kekuasaan dan mengembangkan Islam, Sunan
Gunung Jati, ulama -penguasa dari Cirebon dan salah seorang Wali Sanga,
mendirikan Banten, yang terletak di ujung Barat Pulau Jawa. Setelah itu, Sunan
Gunung Jati meninggalkan putranya sebagai penguasa Banten yang pertama. Ketika
kemudian Cirebon melepaskan perwaliannya atas wilayah di ujung Barat Pulau Jawa
(1552) kesultanan Banten pun resmi berdiri dan Pangeran Adipati Hasanuddin pun
menjadi Sultan Hasanuddin.
Ternyata ini adalah sebuah keputusan politik yang sangat tepat. Awal abad ke-16
adalah masa yang kritis bagi perairan Asia Tenggara. Pada tahun 1511, Alfonso
d’Albuquerque, panglima Portugis yang ingin melumpuhkan Mekah dan Constatinopel
– dua pusat kekuasaan dan agama Islam, berhasil menaklukkan Malaka. la
memperhitungkan bahwa dengan jatuhnya Malaka, maka berarti leher dari kedua
pusat Islam itu telah bisa dicekik Portugis. Malaka adalah salah satu pusat
perdagangan yang besar dunia pada abad ke-15, tetapi panglima Portugis, yang
didorong oleh keuntungan dagang dan kekuasaan agama ini, sama sekali tidak
menduga bahwa kejatuhan Malaka bukan saja menyebabkan Malaka menjadi sasaran
penyerbuan dari kekuatan Islam di perairan Barat Indonesia, tetapi juga
menyebabkan terjadinya pemencaran dari pusat-pusat perdagangan Islam. Maka
sementara beberapa negara-kota di pantai Utara Jawa dan Johor, penerus dinasti
Malaka, serta
Aceh-Darussalam, sibuk berkali-kali menyerang Malaka, di tempat-tempat lain kota-kota
dagang baru pun bermunculan pula. Pada waktunya sebagian dari kota-dagang dan
pelabuhan persinggahan bagi para pedagang Islam yang baru ini pun tumbuh
sebagai pusat kekuasaan besar. Ketika inilah Makassar, Ternate dan Tidore,
Aceh-Darussalam serta Banten secara pelan tetapi pasti menjadi kerajaan Islam
yang besar. Sementara itu di pedalaman Jawa, Mataram pun tampil pula sebagai
pemegang hegemoni di “negara-negara kota” di pantai Utara. Sejak akhir abad
ke-16 dan akhir abad ke-17 boleh dikatakan sebagai the age of Islamic hegemony
dalam sejarah Asia Tenggara.
Karena itulah Schrieke, seorang ahli filologi Islam, sosiologi dan sejarah
Belanda yang terkemuka (yang sempat juga bekerja pada kantor Penasehat
Bumiputra) sempat juga membuat teori bahwa penyebaran Islam di Kepulauan
Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutnya sebagai “race with
Christianity” (perlombaan dengan Kristen). Soalnya ialah setelah Vasco da Gama
mendarat di Calicut, India (1498), apalagi setelah Portugis berhasil menaklukkan
Malaka maka “jalan ke Timur” untuk mencari rempah-rempah dan menyebarkan agama,
telah terbuka pula bagi para pelaut, pedagang, penginjil, dan advonturir Eropa.
Perairan Nusantara pun menjadi ranah persaingan dari segala bangsa, baik yang
datang dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, kemudian datang Belanda, Inggris,
bahkan juga Denmark, apalagi Asia, yang memang telah berdatangan sejak awal
abad Masehi.
Tradisi sejarah Banten tidak bisa melupakan bahwa Maulana Jusuf tewas ketika ia
ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan kesultanan Banten ke Palembang, tetapi
dengan memakaikan keuntungan dari tinjauan ke belakang (atau historical
hindsight, kata orang sana) kekalahan ini sesungguhnya bisa dilihat sebagai
awal dari konsolidasi kekuasaan internal Banten. Dan sejak itu pula Banten
semakin tampil sebagai entrepot yang terbesar di Pulau Jawa. Saingan Banten di
Nusantara sebagai entrepot pelabuhan yang menerima barang impor, mengirim
barang ekspor, dan mengekspor barang impor- hanya Aceh di Barat dan Makassar di
Timur. Ukuran kebesaran enterpot ini bisa dilihat juga antara lain pada
perkiraan jumlah penduduk yang diberikan oleh para pelapor asing.
Tentang Banten laporan-laporan asing memperlihatkan bahwa antara tahun
1660-1690 terjadi fluktuasi yang hebat juga dari jumlah penduduk. Sebuah
perkiraan pada tahun 1662 mengatakan bahwa penduduk Banten lebih dari 100 ribu,
tetapi pada perkiraan pada tahun 1672 telah memperlihatkan lonjakan jumlah yang
hebat. Pada waktu itu diperkirakan jumlah penduduk 800 ribu. Sepuluh tahun
kemudian 700 ribu. Tetapi pada tahun 1696 telah turun menjadi 125 ribu. Sudah
pasti perkiraan jumlah penduduk itu tidak akurat, tetapi dalam perbandingan
perkiraan ini memperlihatkan bahwa Banten mempunyai penduduk yang terbesar di
Nusantara. Saingannya hanya perkiraan jumlah penduduk Mataram pada tahun 1624.
Karena itu bisa jugalah dipahami kalau sumber-sumber tentang sejarah Banten
selama abad ke-16 – abad ke-17 sangat banyak juga. Penurunan jumlah penduduk
yang drastis dari tahun 1682 -1696 tentu masuk akal juga, karena pada tahun
1682 itulah masa akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu sejarah
Banten hanyalah berisikan kisah kemerosotan saja sampai akhirnya menjadi
residentie Banten.
Salah satu laporan yang menarik dibuat oleh orang Belanda, Lodewijk, yang
datang ke Banten pada tahun 1596 bersama komandannya, Cornelis de Houtman.
Dengan jelas sekali ia menggambarkan sifat internasional entrepot Banten.
Antara lain ia bercerita tentang “pembagian kerja” dari anggota komunitas asing
yang berada di Banten. Orang Persia, menurut laporannya, berdagang permata dan
obat-obatan. Orang Arab dan Pegu melakukan perdagangan laut yang sibuk membawa
barang dari satu tempat ke tempat lain atau, dengan kata lain, menjadi pedagang
perantara.Lodewijk tentu saja tidak mengatakannya dan ia pasti juga tidak tahu,
tetapi peranan Arab sebagai pedagang di perairan Nusantara ini barangkali telah
dimulai sejak abad ke-11 ketika Cina menutup pelabuhannya bagi pedagang asing.
Ini pulalah salah satu sebab dari awal terjadinya Islamisasi di kawasan ini.
Kalau cerita Lodewijk diteruskan, maka ia pun mengatakan bahwa orang Keling
lebih suka mengadakan investasi dengan bunga. Atau kalau dengan istilah yang
biasa dipakai sebagai cheti, yang dengan kata lain, tentu bisa disebut
rentenir.
Ternyata orang Melayu, menurut Lodewijk, mempunyai hobby yang sama pula. jika
laporan Lodewijk ini benar, maka kita pun bisa juga mengatakan bahwa ajaran
Islam tentang riba tidak masuk perhitungan para pedagang Melayu itu. Jadi, sama
saja dengan “konglomerat Melayu” sekuler zaman sekarang — pokoknya keuntungan
masuk. Kalau orang Gujarat, mereka pada umumnya adalah pelaut dan, tentu bisa
diduga, miskin-miskin. Lodewijk juga bercerita tentang pedagang besar yang
bernama Cheti Maluku yang berhubungan dagang dengan orang Belanda dan Inggris;
tentang Kojah Rayoan, seorang pedagang Turki yang kaya-raya. Sebagaimana kota
pelabuhan lain Sjahbandar Banten juga orang asing. la orang dari Keling. Ketika
ia sampai di Banten, kata Lodewijk, “ia tak punya apa-apa, maka ia pun
menjalankan semua kerja yang hina untuk menghidupi dirinya.” Dengan kata lain,
Banten di abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah “a land of opportunities”–
negeri yang membuka semua kesempatan. Masuk akal juga kalau Cornellis de
Houtman, pelopor Belanda ke Nusantara, mendarat di Banten dan kemudian
menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya.
Tak lama kemudian Inggris, yang praktis merupakan pengimport tunggal tekstil
dari anak benua India, juga menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya di
Nusantara. Ini tentu adalah fakta sejarah biasa saja – orang berdagang tentu
mencari pusat kegiatannya – tetapi sialnya dalam sejarah Indonesia yang
diajarkan oleh para pejabat negara Indonesia yang merdeka, tahun kedatangan
Cornellis de Houtman ke Banten ini dijadikan sebagai masa awal dari penjajahan
Belanda di Indonesia. Maka, kita pun ikut larut dalam pandangan sejarah yang
bodoh dan sesat ini dengan mengatakan bahwa “Indonesia 350 tahun berada di
bawah kolonialisme Belanda.”
amun, biarlah hal ini tak dilanjutkan, maklum para
pejabat itu tidak bisa membedakan mana yang mitos dan mana yang sejarah. Maka,
kalau cerita dilanjutkan, bisalah dikatakan bahwa kerap kali juga orang
membandingkan Banten dengan Aceh. Salah satu hal yang dibandingkan itu ialah
kenyataan bahwa Banten tidak pernah mempunyai penguasa perempuan. Aceh
mempunyai empat orang sultanah yang memerintah berturut-turut di abad ke-17
(Sialnya, seorang pelapor Inggris curiga juga, jangan-jangan sultanah yang
berada di belakang tirai ketika menerima perutusan Inggris, seorang laki-laki
yang menyamar. la adalah sultanah yang terakhir).
Hanya saja dalam perbandingan ini sering terlupakan bahwa tumbuhnya Banten
sebagai pusat kekuasaan dan dagang terjadi ketika Sultan Abdul Kadir (1596-1618)
masih harus berada di bawah pewalian, karena belum dewasa. Selama lima tahun
yang kritis (1600-1605) yang tampil sebagai tokoh utama ialah Nyai Gede
Wanagiri. Seorang pelapor Inggris (Scott) menyatakan kekagumannya ketika ia
berkata bahwa “perempuan tua ini menguasai para wali dan lain-lain,.. walaupun
ia bukan berdarah kraton, tetapi karena kearifannya sangat dihargai oleh semua
(yang berkuasa) ia memerintah seakan-akan ia adalah satu-satunya ratu di negeri
ini.” Maka begitulah kalau aturan main dalam pemerintahan telah cukup jelas,
pemerintahan bisa dijalankan berdasarkan kearifan yang paling unggul.
Kalau De Breugel, yang menulis memorandum pada tahun 1787, sempat mengatakan
bahwa orang Banten meskipun punya hukum tetapi lebih suka memakai hukum alam,
tidak demikian halnya pada abad ke-17. Seorang pendeta dari Missions
Etrangeyes- misi Katholik Prancis- melaporkan bahwa Banten, “mempunyai dua
hakim utama, yang pertama Syahbandar Besar, yang tahu semua masalah
perdagangan; dan yang lain memakai nama Thiaria (Shari’ah), yang mempunyai
jurisdiksi pada semua masalah perdata dan pidana, yang menghukum dengan berat
kejahatan pencurian dan perzinaan.”
De Breugel menggambarkan suasana kemunduran dan kemelut. Ketika itu kraton
Banten praktis telah menjadi fiefdom VOC atau berada di bawah suzereniteit
maskapai – yang-bermain sebagai-negara ini dan harus pula membayar utang kepada
VOC, karma telah membantunya menghadapi pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa
(1750-52). Nada dari uraiannya hampir sama dengan gambaran para pelapor lain
tentang kerajaan-kerajaan Nusantara yang sedang mengalami kemunduran.
Bedanya hanyalah pada detail-detail sejarah – nama tempat, nama orang dan
bentuk peristiwa, serta waktu. Ada kerajaan yang telah mengalami krisis di abad
ke-18 – umumnya berada di pulau Jawa – tetapi ada pula yang bare mengalaminya
pada abad ke-19 – umumnya di kerajaan-kerajaan di daerah lain (kecuali Maluku).
Bahkan kisah yang ditulis Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang dikirim
Inggris, yang telah mendirikan dan menguasai Singapura, untuk meninjau
kerajaan-kerajaan di pantai Timur Tanah Semenanjung, memperlihatkan suasana
yang lama, meskipun yang dikisahkan berbeda-beda. Suasana kemelut menjelang
kejatuhan selalu membayangkan otoritas kekuasaan yang lemah, masyarakat yang
tak peduli, hukum yang kehilangan peran, ekonomi yang kehilangan gairah, serta
keamanan yang tak terjamin.
Sedangkan laporan-laporan asing tentang Banten abad ke-16 dan abad ke-17 juga
tak pula jauh bedanya dengan laporan tentang kerajaan maritim lain yang sedang
berkembang. Kisahnya tentu saja berbeda-beda, tetapi suasana sosial-politik dan
ekonomi memantulkan gambaran yang tak jauh berbeda. Jika saja nama-nama orang
diganti dan nama-nama tempat ditukar pula maka uraian tentang Banten rasanya
bisa saja dijadikan tentang Makassar dari abad yang sama. Bahkan juga bisa
ditukarkan dengan Riau-Johor abad ke-18, sebagaimana diuraikan oleh kitab
Tufhat an Nafis, yang ditulis Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad dari Pulau
Penyengat, sebuah pulau kecil dekat Tanjung Pinang, Pulau Bintan.
Ciri-ciri umum ialah persaingan dagang internasional yang meriah, sistem hukum
berlaku baik, raja yang bijaksana, ilmu pengetahuan berkembang, dan aktivitas
keagamaan menjadi pertanda dari kearifan Sultan. Tidak kurang pentingnya ialah
suasana ini bukan saja mengundang kedatangan para pedagang dari segala penjuru
dunia, tetapi juga para ulama. Dalam hal ini, baik sumber asing maupun sumber
lokal, yang disebut historiografi tradisional itu, memberikan kesan yang tidak
jauh berbeda. Jadi masuk akal juga kalau van Leur, yang memperkenalkan
pendekatan sosiologi Max Weber untuk memahami sejarah, membagi kerajaan di
kepulauan Indonesia atas dua kategori, yaitu maritim dan agraris. Banten,
Makassar, Aceh dan lain-lain memperlihatkan ciri-ciri yang khas maritim.
Dengan pendekatan ideal type — membuat bentukan analisis berdasarkan sifat
kategori yang paling ekstrim- maka negara maritim berarti kegiatan dagang,
kebudayaan dinamis, dan pandangan ke luar. Sedangkan Mataram bersifat agraris —
keterikatan pada tanah, pertanian, sikap kultural yang konservatif, dan
cenderung mempunyai pandangan ke dalam (inward looking). Konon Sultan Mataram
pernah mengatakan pada utusan Belanda yang datang menghadap di kratonnya,
“Tuan-tuan boleh berdagang di negeri saya tanpa bayar pajak, sebab saya bukan
pedagang seperti penguasa Banten dan Surabaya, yang harus merasa takut dengan
persaingan tuan.” Penguasa maritim sejauh mungkin ingin mendapatkan keuntungan
dari perdagangan laut, bahkan kalau perlu — bahkan biasa sekali-mereka pun ikut
berdagang. Mataram tentu lebih suka mendapatkan upeti dari para bangsawan yang
telah mendapat lungguh serta menyibukkan diri dengan penghalusan kebudayaan dan
sistem status sosial.
Dengan segala ciri-ciri kerajaan maritim yang
diperlihatkan Banten, tentu mudah juga dipahami kalau di masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang ulama besar yang berasal dari
Makassar, Syekh Jusuf al Makasari, bukan saja tertarik untuk mendatangi Banten,
tetapi bisa merasakannya sebagai negeri sendiri. Di bawah sultan yang bijaksana
inilah Banten mencapai tingkat kegemilangannya yang tertinggi. Ia mengirimkan
utusan diplomatik ke negeri-negeri Islam dan menyuruh anaknya naik haji sambil
mengunjungi Turki.
Tetapi di saat ini pulalah VOC sedang berada pada tahap perkembangannya yang
agresif dan sedang asyik memperkenalkan serta memaksakan sebuah sistem yang
sama sekali tak dikenal oleh tradisi Nusantara yang bertolak dari pemikiran
laut bebas (mare liberum). Sistem itu ialah monopoli. Maka perbenturan antara
Batavia, yang mempunyai kemampuan teknologi persenjataan yang lebih canggih dan
tentara yang telah mengalami suka-duka berbagai macam perang, dengan Banten,
yang lebih sibuk menjalin ikatan perdagangan terbuka. Perang terjadi dan Banten
kalah. Akan tetapi, lebih dari itu sekadar kekalahan kejatuhan Sultan Ageng
bermula dari pengkhianatan sang putra mahkota, Sultan Haji.
Sejak itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang “menunda kekalahan”
saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada ayahandanya serta-merta
menyebabkan karisma tradisional yang dipegang kraton pun meluntur pula. Seperti
juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi dan pengaruh kekuasaan asing telah
semakin dirasakan, maka kraton pun ada kalanya menjadi sasaran pemberontakan.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah) bisa dikalahkan, independensi
Banten mulai setahap demi setahap digerogoti. Sultan Haji memerintah, tetapi
hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian hegemoni ini secara berangsur
menjadi dominasi (mulai dari zaman Daendels) sampai akhirnya resmi berada di
bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda — kesultanan telah dihapuskan. Benar,
sejarah Banten adalah sejarah tentang sebuah daerah di tanah air kita, tetapi
dari sudut pandang lain, sejarah Banten mungkin bisa juga dilihat sebagai
sebuah gambaran umum dari “lahir dan tumbangnya” kekuasaan pribumi — lahir,
tumbuh, berkembang menjadi pusat dagang, melawan monopoli, perang, kalah,
hegemoni asing, dominasi, akhirnya kolonialisme.
Jika diartikan secara harfiah ungkapan Prancis l’histoire se repete, sejarah
berulang, memang tidak benar. Ungkapan ini tidak benar kalau sejarah diartikan
sebagai salinan yang murni dari “apa, siapa, di mana, dan bila”, tetapi
mempunyai validitas relatif kalau yang ingin ditemukan ialah pola umum yang
berlaku. Peristiwa sejarah yang biasa dikatakan hanya sekali terjadi, einmalig,
itu sesungguhnya mempunyai unsur yang “khusus” dan “umum”. Adapun yang khusus
dan tak berulang ialah kenyataan bahwa “Sultan Ageng Tirtayasa (siapa) yang
melawan usaha penetrasi kekuasaan Belanda (apa) di Banten (di mana) pada tahun
1682 (bila),” sedangkan yang merupakan gejala umum itu ialah kecenderungan
bahwa “raja adalah lembaga yang pertama yang melawan usaha penetrasi Belanda”.
Kecenderungan umum ini terjadi di manamana, meskipun dalam waktu atau abad yang
berbeda-beda.
Meskipun dengan memakai konsep pola umum ini Banten unik juga-jika bukan dalam
corak peristiwa yang dialaminya, setidaknya begitulah yang terjadi pada struktur
kesadaran yang dipantulkan oleh satu-dua pejabat Belanda. Pada gilirannya
kesadaran ini memberi akibat juga pada cara sebuah bangsa yang sedang berada
dalam proses pembentukannya untuk melihat sejarahnya. Begitulah umpamanya, Onno
Zwiervan Haren menulis sebuah drama yang mencekam dengan judul Agon Sulthan van
Bantham . Drama ini berkisah tentang bantuan militer Belanda pada anak Sultan
Ageng yang durhaka. Dan kemudian, siapakah yang bisa melupakan karya Multatuli,
Max Havelaay, yang berkisah tentang penderitaan rakyat dan ketidakberdayaan
pejabat yang bermaksud baik? Kolonialisme adalah hubungan internasional yang
bercorak subordinatif dan eksploitatif mempunyai akibat sosial yang penting.
Di satu pihak, kolonialisme mempunyai kemungkinan untuk menciptakan mental
dependensi (terhadap orang asing) dan kesadaran hirarki sosial yang hegemonik
(terhadap sesama anak negeri). Akan tetapi, di pihak lain, sifat eksploitatif
dari kolonialisme kemudian bisa juga menjadi landasan dari terwujudnya rasa
kesamaan sejarah dan nasib yang bersifat translokal. Nasionalisme yang kolonial
pun tumbuh juga. Di samping mempunyai pengaruh terhadap sejarah pergerakan
kebangsaan, Banten mempunyai tempat khusus juga dalam perkembangan
historiografi Indonesia. Ketika Sartono Kartodirdjo (sekarang Prof Dr)
menyampaikan disertasinya tentang pemberontakan Cilegon 1888 di Universitas
Amsterdam (1966) maka lembaran baru sejarah penulisan sejarah Indonesia pun
dibuka. Dengan buku untuk pertama kali seorang sejarawan Indonesia tampil ke depan
dengan menyoroti sebuah “peristiwa kecil”, dengan aktor-aktor “orang kecil”,
ulama lokal dan petani, dengan memakai pendekatan yang bercorak
multidimensional.
Maka dengan begini sebuah alternatif dalam penulisan sejarah diperkenalkan.
Sejarah politik dengan peristiwa besar dan orang besar kini telah didampingi
oleh studi yang semakin mendekati pada denyut sejarah sesungguhnya-manusia
dengan segala keresahan dan harapannya pada tingkat yang paling intim, yaitu
desa.
Pemberontakan Cilegon sebenarnya memperlihatkan hal
lain lagi. Banten yang telah kehilangan kesultanan ternyata tidak kehilangan
beberapa hal yang fundamental, yaitu semangat independen, “nasionalisme lokal”
yang kental, dan keterikatan pada norma keagamaan. Ketika kesultanan telah
mengalami proses pelemahan dan kemudian malah dihapuskan dan di saat kedudukan
bangsawan semakin terjepit, ketika itu pula para ulama semakin tampil sebagai
pemimpin lokal. Banten, di masa krisis politik yang berkepanjangan ini ketika
“hukum alam” (sebagai kata van Breugel) lebih penting dari ketentuan hukum yang
berlaku golongan baru pun semakin menampakkan dirinya. Mereka adalah para
jawara, pendekar yang selalu siap membela untuk sesuatu yang dianggap benar.
Sejak kejatuhan kesultanan hampir tidak ada lagi satu peristiwa di Banten yang
bukan dimotori oleh ulama dan jawara. Maka bisalah dimaklumi kalau Aceh
kadang-kadang disebut sebagai negeri “uleebalang dan ulama”, Banten pun dikenal
pula sebagai negeri ” ulama dan jawara “.
Sejak resmi menjadi salah satu karesidenan yang berada di bawah kekuasaan
Hindia Belanda, Banten , kerajaan yang pernah disegani di perairan Nusantara,
seakan-akan diharuskan untuk menjadi daerah-sampingan saja. Kadang-kadang orang
dikejutkan oleh tampilnya hal yang perlu dicatat, seperti tampilnya ulama besar
Syekh Nawawi al Bantani, yang menerbitkan buku-buku di pusat-pusat pengetahuan
dunia Islam, tetapi pada umumnya tidak lagi berperan apa-apa yang penting.
Pemberontakan “komunis” 1926 — seperti juga dengan yang terjadi di Silungkang
(Sumatera Barat) — memang pantas dikenang, tetapi dalam tinjauan dinamika
sejarah secara keseluruhan peristiwa ini tidak lebih daripada deviation belaka.
Maka mestikah diherankan kalau sudah lama juga para tokoh Banten telah
menginginkan agar Banten bisa mendapatkan kebebasan relatif untuk mewujudkan
kembali “janji sejarah” yang sekian lama seakan-akan terpendam?
GEGER CILEGON
Sumber data : buku Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888,
Percetakan Pustaka Jaya 1984
Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah
peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang
dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di
rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad
menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren, para tokoh
itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial.
Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji
Marjuki, dan Haji Wasid.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan
sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya.
Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali
dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di Tanahara, yang
dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh terhadap penguasa
pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang serta Haji R.A.
Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya di kalangan
rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai “Kiyai Agung”
bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”. Dalam mengadakan acara dzikiran di
rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan
tentang perlunya perang sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal
13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah yang
datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan
sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan yang akan dilaluinya.
Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji
Abdul Karim berangkat langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia.
Sebagai ganti pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji
Tubagus Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir.
Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti Kiyai Haji Wasid dari
Beji, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari
Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lempuyang dan Haji Muhammad
Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara yang dipimpin
oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya bertambah banyak, di
samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti Tangerang, Bogor dan
Batavia.
Pra Peristiwa Geger Cilegon
Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah
belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di
pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada
muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan harus dipraktekan dalam setiap
kegiatan sehari-hari. Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji
Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka
menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan memahami
tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim
yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi segala
yang dilarang-Nya. Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya,
semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda
lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah
musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan
tiada harap; tiada benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.
Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di
Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes)
binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga
tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat. Musim
kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Tanah
pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan" menjadi kering,
sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya
makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah;
terutama sekali kaum perempuan.
Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat,
menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi di
pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari
teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak
mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk
memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak
lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil
mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan
(PAA. Djajadinigrat, 1936:8).
Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang
menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan
cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan
mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana
terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan
demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula. Bagi
rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan tapi
juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga
perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan
kesewenang-wenangan yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan
anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan
itu. Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena
banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di
mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa.
Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000
penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan
menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).
Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah
tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu
tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali. Dari
banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a. Kesedihan yang mendalam
itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23
Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai
barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih,
Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam
disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang
pasang.
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya
membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam
bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan sosial
ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun suasana di
kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan. Sementara itu, pihak
pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan
penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan
yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran,
semakin menambah penderitaan rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang
ditanggung rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah
f. 125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri
dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari
jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000
(Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk
negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu,
pajak pasar sampai kepada pajak jiwa yang besarnya kadang-kadang di luar
kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan
pegawai pemungut menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada
penjajah.
Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini,
banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai
dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah.
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh
sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan
meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu
pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan
meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang
kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan
ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya
tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon
berhala itu pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan
pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar
hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Hamka, 1982:144). Dendaan
yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga
diri murid dan pengikutnya.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara
langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels.
Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu
shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat" kerena kerasnya suara,
apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih
agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan
dilakukan dengan suara keras, karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan
terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial
Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan
menumbuhkan perlawanan bersenjata.
Jalannya pemberontakan
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pemberontakan" di
Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
4 Pebruari 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di
Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di
Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan
Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di rumah H. Iskak di Saneja.
Maret April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M.
Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya
kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.
23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H.
Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan tersebut dibicarakan
masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerakan pengikut,
serta penyelenggaraan latihan antara lain pencak silat. Pada tanggal itu juga
diperingati hari lahir pendiri tarekat Kadiriyah; peringatan tersebut antara
lain ditandai dengan kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day
pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya
adalah 9 Juli 1888.
Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1) akhir Juni
berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra bupati Pandeglang
dan putri bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat, (2) awal Juli,
Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan Eropa dan pribumi
melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3) adanya desas-desus munculnya naga
besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk, (4) dalam waktu
dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara,
(5) beredarnya desas-desus larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan,
tayuban, pesta perkawinan dan khitanan.
Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk
persiapan terakhir pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari Jaha, Haji Sapiuddin
dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud
dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala
di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi
kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam
23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid
dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka
setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk
mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir
pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan
Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari
Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka
akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke
Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji
Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji
Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid
berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang
lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid di luar masjid sudah
berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir yang
juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari
Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan
langkah terakhir pemberontakan.
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai
jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji
Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke
Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke
Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate
Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang
dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di
Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali
lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli
1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai
dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus
Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian
putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan
tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke
arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail yang
kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan.
Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya
dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang
para pejabat pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888,
diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari
Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan
yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul
Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan
memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan
dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim,
Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua
dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun
menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail
dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji
Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala
kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-303).
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor
Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden
Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen
Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala
penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat.
Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan
lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu. Tokoh fenomenal
yang menjadi salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, wedana
Cilegon, yang menurut PPA. Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di
dekat-dekat orang Eropah atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra
lain" (1936:55), sehingga ia termasuk "orang yang tidak berdosa"
(1936:56) Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden
Tjakradiningrat itu, adalah ketika ia akan mencoba bermusyawarah dengan para
pejuang (peroesoeh). Namun di antara mereka terdapat seorang tahanan-titipan
kasus pencurian hasil tangkapan Wedana Tjangradiningrat yang sedang menunggu
putusan perkara, yang bernama Kasidin. Kasidin keluar penjara ketika penjara
dijebol para pejuang. Ketika Tjakradiningrat mendatangi tempat kerusuhan dan
dikepung oleh para pejuang terdengar suara: ' ... djangan dianiaja jang seorang
itoe, ia tidak berdosa !', tapi Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut,
melompat ke muka sambil berkata: ' ... ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada
saat berikutnya Kasidin memarang leher Wedana Tjakradiningrat (PPA.
Djajadiningrat. 1936:56)
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon
ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara,
Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang,
pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung,
Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat
kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran. Sehari
semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh
pasukan "pemberontak". Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel
dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka
Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I
Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para
pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga
akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan
dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji
Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil
dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang
ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado,
Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Kejadian "Geger Cilegon" itu mempunyai arti
penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda
menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan
hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun
akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat
bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh
rakyat terhadap penjajah.
Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya
sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk pemberontakan,
kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin kharismatik yakni para kiyai dan
ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini
cukup mendalam di kedua belah pihak. Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah
Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah
juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat
militan itu.
Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga
kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping
mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan,
juga pemerintah kolonial "merambah" dalam kehidupan keagamaan
masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia. Hal
ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di
samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan
permusuhan kepada orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan
bahwa ekspansi Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas
penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di
Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad ke-19
dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat pemerintah
Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat dikelompokkan kepada
partai agama dan non agama. Kedua golongan ini saling berebut mempengaruhi
semua keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan pemerintah Belanda.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama memperoleh kemenangan
dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada
kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung
sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta.
Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan
“politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen
mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit
melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.
Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah
menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan
sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin
berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus dianggap sebagai faktor
penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama
merupakan gejala simbiose yang saling menunjang" (Suminto, 1985:18).
Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa Indonesia ini memeluk agama
Kristen, yakni menjadi seagama dengan penjajahnya, maka berarti mereka tidak
akan lagi membahayakan bagi pemerintahan Belanda.
Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran
agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia
makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang Indonesia
dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai "setan", "kapir
landa" sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam juga
menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Tidaklah
mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk belajar di
sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering
dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen.
Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa
bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau sekurang-kurangnya
menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan bahwa berpakaian ala
Eropa lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon dan topi ala Eropa ─ dihukumi
haram, dan pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang
bekerja menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai
pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai "anjing belanda".
Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk
asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa pemerintahan
Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat pemerintah Belanda
mengalami kesulitan mengangkat pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap
(baca: pernah belajar di sekolah Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi
kekosongan pegawai pamongpraja ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat
pegawai yang berasal dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal
demikian sering menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama
lain; yang pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para
pamongpraja asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang.
Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai
asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar dari
Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca kemerdekaan. Rupanya,
walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan orang yang mempunyai pemahaman
mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang yang taat
menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup
tinggi.
Peran Kyai dan Jawara di Banten
Semenjak pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten, perlawanan
dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial tidak pernah
berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan daerah yang
paling rusuh di Jawa. Karena itu masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai
orang yang sangat fanatik dalam hal agama dan bersemangat memberontak. Penduduk
Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan
waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran
yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki cultur yang berbeda
dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam
hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata
dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam daerah yang
pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang terkenal sangat taat
terhadap agama seperti daerah Banten sudah sewajarnya jika kiyai menempati
kedudukan yang penting dalam masyarakat. Kiyai yang merupakan gelar ulama dari
kelompok Islam tradisional, tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi
juga seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan
pemimpin formal, terutama di pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di
suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan.
Kiyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru
spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang khas,
seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana,
serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah, merupakan simbol-simbol
kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan seorang kiyai menjadi panduan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Golongan lain, yang juga menembus
batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang
yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi
kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh
masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para
jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam.
Keunggulan dalam hal fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan
supernatural (magik) telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki
karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan
terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga
bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki
keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong),
terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia
memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti halnya kiyai yang memiliki pesantren
sebagai tempat para santri menimba ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula
kepala jawara memiliki padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara
pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat
tinggalnya. Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan
Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib
dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat
bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang
yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin
menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang
tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara
dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian orang lagi berpendapat
bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang
biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal
dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di
Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan
(desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro
menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi
pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah
murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu
agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini
disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil
dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang
terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih
berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada
akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang
fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian
disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang
melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang
pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah
khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang
kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini
dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk mengidentifikasi
seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi untuk identifikasi
seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam
bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan
tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga
membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut,
rasa kagum dan benci. Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi
tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan
untuk orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah
agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap
orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan
dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap istilah jawara cenderung negatif
dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan
lahur” (tukang main perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta”
(tukang main perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara
tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu
kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan dirinya
jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.
Persepsi masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung
negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit sosial” di atas.
Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk melawan musuh
bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda, mendapat penghargaan dan
penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu jawara dianggap pahlawan oleh
rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas kepentinganya. Peran-peran itu yang
telah ditampilkan secara baik oleh Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa
silam. Namun setelah Indonesia bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat
itu tidak ada. Namun prilaku-prilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang
taat dalam beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati
masayarakat terhadap jawara.
Tokoh-tokoh agama, kiyai, terutama dari pemimpin
tarekat, selain dipandang sebagai orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan
ajaran-ajaran agama juga dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat
kekuatan supernatural, karena itu dipercayai memiliki kekuatan magis dan
mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang
kiyai akan semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk memahami
ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh
masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga ia
dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh
orang-orang biasa.
Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan
disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan
supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap
memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu persilatan.
Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, kawani) secara fisik,
yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu
bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya
memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara
apabila ia tidak memiliki keberanian.
Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang
sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten.
Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga
memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni:
kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri
pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian itu
maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan.
Juga karena keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki
kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di
hadapan khalayak banyak.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan
dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap
kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih
tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal keagamaan
masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di tingkat atas dan para
penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat
intervensi pemerintah kolonial yang terlalu besar.
Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak
bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat.
Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda. Penghapusan
jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat
pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial
diserahkan kepada penghulu, setelah penghapusan jabatan Fakih Najamuddin
diberikan kepada para kiyai. Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit
banyak membantu peran para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan
dan ketertiban masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan
masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang
mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari
para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai
tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad Khatib memerintahkan K.H.
Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.
Menurut masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang
“terpelajar” dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi
mencari ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran
agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun
pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian dan ahli
kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang
memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat.
Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang
atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan
mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari
senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga
membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Berkat
kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, terutama pada
saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati
berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat diapun tokoh
yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan
pemimpinan yang meemiliki pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya
sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya.
Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat
(kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu
ghaib) dan sebagai mubaligh.
Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi
arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia
lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu menjadi
masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi,
peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih
mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan
“batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan
oleh para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat
dan ilmu “batin” atau magi, satuan-satuan pengamanan.
Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam
kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para jawara
dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini
sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda
dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan
masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman.
Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara
disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya
tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga
kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai,
atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) dari jawara.
Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai prilaku jawara
yang sering menghalalkan segara cara walau dengan cara kekerasaan dalam
menyelesaikan masalah.
Sejarah Pra Islam Dan Berkembangnya Islam Di
Banten
Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata
cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika
agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan
purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan
keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang
kehidupan masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di
daerah pesisir Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam.
Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai
wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh
putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran
agama Islam daerah Banten.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai
peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah
Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis
sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih
dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk
diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. Disamping
karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang menarik, ternyata
sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti secara tuntas sehingga masih
banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti dan dipelajari secara lebih
mendalam.
Keadaan Banten Pra Islam
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum
Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam
masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha.
Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan
kepercayaan yang mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan
Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan
benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat
keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM
hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen
dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan
di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar
Cimanuk, dan lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan
yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM)
juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak
corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa,
Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data
sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini
yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai
Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa
dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini
adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga
ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam
keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan
pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah
berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara
Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada
waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula
masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua.
(Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII,
kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena
data yang diperoleh para ahli belum lengkap.
Tumbuh dan Berkembangnya Islam Di Banten
Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525
M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa
Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten untuk
meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan
Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama
Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang
diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya lahir pula pangeran
Hasanuddin. (Atja;1972:26)
Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke
Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya dalam
penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam
usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke
daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di
Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34) Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten
Utara memeluk agama Islam. (Roesjan;1954:10)
Karena semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten
Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai
Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten
dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak
dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton Surosowan.
(Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh
dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten
sebagai negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Pajang.
(Hamka;1976:181) Disamping itu Banten juga menjadi pusat penyebaran agama
Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar,
sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada di
Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari
masjid Agung Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya
Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf.
(Djajadiningrat;1983:163)
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan
sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah mencapai
masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah sebagian besar
masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan
dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten seperti tidak dapat disangsikan lagi
dan penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di
masa itu.
Setelah kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan
sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti;
Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid
Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung Timayah, makam-makam
sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak
terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta terjadinya
akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.
Sejarah kebudayaan Cina Tertua di Banten
Sejarah bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat terdahulu
dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat dari bentuk –
bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan karya seni yang menjadi
tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat pada masa itu. Seperti halnya di
Banten banyak terdapat benda-benda bersejarah yang memiliki nilai historis yang
dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu
masa dalam sejarah.
Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat ini
merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering berkunjung
kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal mengunjungi klenteng ini,
karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang dibangun pada masa sultan Banten
dan konon klenteng tertua di Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas
klenteng itu, diperoleh keterangan serupa bahwa Kleteng ini tertua di Jawa,
juga di Indonesia .
Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah
pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang Cina
oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada orang-orang Cina di
Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea (douane) pada masa VOC di
pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane itu kemudian di rubah menjadi
klenteng dengan nama Bio Hud Couw. Keterangan ini hampir sama dengan yang
dipaparkan oleh She Cang bahwa klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi
sekarang, semula rumah biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk
dijadikan tempat sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten
lebih dari 1300 kepala keluarga.
Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan
beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga bagian
depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang lainnya yang
melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah klenteng. pembangunan yang
terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng memang tidak merubah
keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang terletak dibagian tengah klenteng
karena diguankan sebagai altar.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk
di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini lebih
banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar bangunan asli
klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah dengan kombinasi warna kuning
yang menyala. Cat yang banyak melekat didinding tiang serta kusen lainya
memeang sering diperbaharui. Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah
dipandang para pengunjung.
Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk
(Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan
oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten, waktu
itu Banten dikenal sebagai pelabuhan rempah-rempah. Bangunan klenteng ini
memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah di
Banten pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan
masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini
bahkan dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak
berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung
klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada
masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina
yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan
perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada
tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton.
Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan
bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang
orang-orang Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69).
Intensitas kehadiran para pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di
Banten diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai
tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Banten tidak bisa diangap
ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeologi di Keraton Surosowan
terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti
pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan perdamaian, sedangkan pada koin
sebaliknya diketahui huruf Manchu yang artinya tidak diketahui. Mata uang Cina
tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal
0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Ujung Kulon Dalam Lintasan Sejarah
Mengamati berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini akan
menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam dan bercorak
yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi sejarah bayak kita
temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang secara fisiografis
memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain nusantara dengan ujung
Kulon di Banten, serta hasil survai dan ekskavasi, maka dapatlah dilakukan
penyusunan suatu model hipotesis untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang
pernah berlangsung di Ujung Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman
hindu-budha, Islam dan terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan
manusia sebagai pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung
Rakata (krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987).
Data arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon Panaitan,
setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda ini pernah meniadi
salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan. Ujung Kulan Panaitan
memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan sisa-sisa bangunan. Seperti
lukisan dinding guha di Sangiang Sirah, Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan,
batu lingga di Handeuleum, kubur islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman
kuna di Taman Jaya dan Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung
Layar. Secara kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak
tersebut mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia
yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.
Sub sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana pada
bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya kulturalnya untuk
memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang bersifat material maupun
spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan penentuan lokalitas pemukiman
biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya jarak terhadap pusat
persediaan sumber daya alam atau kita sebut sumber makanan dan air minum,
menurut K.C. chang pemukiman manusia cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk
menekan biaya-baya operasional sampai pada tingkat paling minimal
(1967:229-230).
Sementara itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan
pemukiman manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs
arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara ekonomi
terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka Soebroto menekankan
pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan gambaran adanya hubungan erat
antara pemilihan lokasi situs dengan strategi manusia masa lalu dalam memenuhi
kebutuhannya.(1985 : 11-25-1122).
Melihat rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18, sangatlah
memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa itu menghadapi
kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter dunia dan masalah di
dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan ini menyebabkan hutang
bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya masalah ini antara lain :
- Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan
miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli yang
tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
- Monopoli rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi,
disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran
rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Banyaknya
biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya
yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru
dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob, Halwany & Mujahid,1990:21).
Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan. Semua
kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda. Sejak
itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto, 1961:56). Pada tahun
1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis yang menggoncangkan Eropa
dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte. Sebagian besar Eropa dikuasai
Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat dikuasai pada tahun 1807. Louis I
Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels
sebagai Gubernur Jenderal di kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada
tahun 1808 dengan tugas pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara
Inggris di India.
Untuk menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana pertahanan
seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng, pelabuhan tentara, rumah
sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana
serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan.
Untuk itulah dilakukan kerja paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja
tanpa upah.
Pekerjaan pertama Deandles adalah membuat pangkalan
angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Daendels memerintahkan kepada Sultan
Banten. untuk mnengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya agar pekerjaan yang
direncanakannya cepat telaksana. Akan tetapi karena derahnya berawa-rawa,
banyak pekerja yang mati terkena penyakit malaria. Sehingga banyak diantara
mereka yang melarikan diri. Keadaan ini membuat Daendels marah dan menuduh
Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi larinya pekerja-pekerja itu.
Melalui utusan sultan yang datang ke Batavia, Daendels memerintahkan supaya :
a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan
di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di
Surosowan akan dibangun
benteng Belanda.
Sudah tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena
permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi
dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh Gubenur
Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan ini sampai di
perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah utusan Komandeur
Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana Surosowan (Banten) untuk
menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun karena kebencian rakyat yang sudah
demikian memuncak kepada Belanda, maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan
pintu gerbang kraton (Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan
diserangnya Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis,
1881).
Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan, sehingga
sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. prajurit-prajurit Sultan dengan
keberanian yang mengagumkan berusaha mempertahankan setiap jengkal tanah
airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga
menjadi puing-puing berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi
kekuasaannya. Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih
Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten
dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan
Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.
Setelah Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota dengan
gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar sultan, namun
kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada biasanya karena ia
tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa
ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real setiap tahun dari pemerintah Belanda.
(Sanusi Pane, 1950 b:II).
Pengerjaan pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak pekerja
yang mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut berupa
rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon dipindahkan ke
daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut Deandles melakukan
tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah kebencian rakyat Banten kepada
pemerintahaan Belanda.
Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab
pembautan jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama
merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808,
pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan
di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai
dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes,
Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari
Anyer Melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak
(selatan).
Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur,
Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu
tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh
Daendels.
Karena banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka timbullah
perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di daerah laut sedangan
di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan oleh Alim Ulama setempat
yang tidak senang dengan sepak terjang pemerintahaan Belanda. Seperti kejadian
di Cibungur dan di pantai Teluk Marica, terjadi serangan Belanda ke daerah ini
tapi tidak berhasil, akhirnya Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin
langsung oleh Daendels sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda
dapat menguasai Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11),
Daendelas mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan yang
sering terjadi.
Akhirnya Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan
memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten yang
tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di Ujung Kulon.
Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi hanguskan pada tahun
1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan rakyat Banten, Belanda membagi
daerah Banten dalam tiga wilayah yang statusnya sama dengan Kabupaten seperti;
Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah
pengawasan Landros (semacam Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah
Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul
Solihkin yang berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan
Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan jalan
Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini dikerjakan hanya
dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten,
begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim di Uiung Kulon (Tanjung Layar)
yang banyak mengorbankan jiwa manusia karena disana masih banyak binatang buas.
Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur)
sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya
surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos,
namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi
kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain
mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan
disekitarnya.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten
tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk
melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit
malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena
banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur,
menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan
banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels
semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya
menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan
apapun alasannya.
Banten Girang Gerbang Kerajaan Banten
Nuansa Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini. Terbukti
dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang tersebar di seluruh
pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi dengan menelusuri, baik
produk-produk kesusasteraan seperti naskah-naskah, babad, atau buku-buku
keagamaan, berbagai cerita rakyat (folklore) yang masih hidup dalam ingatan
masyarakat, yang dituturkan oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan
budaya material dalam pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini
terlihat pada karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.
Banten sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan secara
geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten, meliputi
Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya Tangerang. Selain
itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten Girang, Banten Lama dan
Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang ada, diduga kuat bahwa toponim
Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15 M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa
toponim Banten tidak dicantumkan dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad
Nagarakartagama (1345 M). Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang
berasal dari awal abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.
Kajian Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau yang dapat
ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah historiografi lokal, seperti
Cina Parahyangan yang menyebut istilah "Wahanten Girang", prasasti
Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan Purwaka Caruban Nagari yang
memuat istilah "Kawungaten". Selain itu, catatan Tome Pires
(1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting
Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang), "Cheguide"
(Cigading), "Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa)
dan "Chemano" (Cimanuk). Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang
menjadi label wilayah politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.
Dilihat dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok etnisitas,
yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang sepanjang pesisir utara
Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di sebelah utara, yang berbatasan
dengan sub etnik Betawi, sampai Anyer-Cilegon di sebelah selatan barat; (2) sub
etnik Banten-Sunda yang wilayah huniannya mulai dari Serang Selatan (Banten
Girang) sampai ke pedalaman selatan berbatasan dengan Samudera India.
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa
ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit
dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai
Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan
dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan
ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan
catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang
sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal
dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer
masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang
sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di
atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan
besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai
pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah
masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program
Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah
Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang
ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh
lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten
sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan
kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh
benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat
kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca.
Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan
internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa
kawasan di India.
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat
diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa
keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya
dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat
dipertahankan. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan
sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam
Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan
dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak
terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis
rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda
setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri,
namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian
Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai
bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai
pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat
makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki
peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun
atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah
berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa
Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan
armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di
sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di
mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini,
mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat
antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan,
Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan
diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah
hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang
dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak
diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan
kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada
Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota
Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang
tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya
armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang
bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada
Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal
dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera
setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap
di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun
pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi
Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia
menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi
militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan
dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis
dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten.
Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda,
yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang
merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, dimana
sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati,
Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan Demak, yang juga
menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah dinasti baru telah
terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih
sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.
Masyarakat dan budaya Banten, terutama dengan alam dan budaya Islamnya, mungkin
hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah transformasi
pusat administrative politik dari Banten Girang di pedalaman - yang berada di
bawah subordinasi Pakuan Pajajaran yang Hinduistik ke daerah pantai yang
sekarang dikenal dengan Banten Lama. Peristiwa transformasi tersebut
berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin.
Sejak itu embrio dan fondasi masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan
ditetapkan dalam format yang berciri keislaman. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambari,
Kepala Pusat Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, Depdikbud Rl) yang juga staf
peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, dalam bukunya "Menemukan
Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia" (penerbit Logos)
memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten dalam panggung
sejarah, dirunut dalam fase-fase berikut:
(1). Fase Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah
bawahan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat di Banten
Girang (Kota Serang sekarang).
(2). Fase awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam disiarkan
oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin yang beraliansi
dengan Demak. Pada masa ini terjadi transformasi keagamaan, perpindahan pusat
pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten sebagai pelabuhan - alternatif
setelah Malaka.
Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan
monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya perdagangan.
Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang melakukan transaksi
perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten telah berhubungan dengan Cina,
sehingga etnis terakhir ini telah membentuk satu komunitas tersendiri yang
memberi sumbangan besar bagi perkembangan perdagangan di Banten.
(3). Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana seluruh
kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang
(armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten, Cirebon, Batavia dan Mataram).
Keseimbangan kekuatan ini di antaranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa
politik yang berlangsung saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi
satu kekuatan politik tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan
Banten ke Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya
kekuasaan Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat
Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya (tamaddun
Islam).
(4). Fase Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang langsung
atau tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan VOC, masih
berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.
(5). Fase Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena imbas
perang Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris (1811-1816),
pemindahan administrasi politik ke Serang Surosowan dihancurkan, didirikannya
Keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah Kesultanan Banten menjadi tiga
daerah setara Kabupaten (Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer) di bawah
pengawasan landraad (setara residen), pada tahun 1809 pembuatan jalan raya
Daendells.
(6). Fase Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul
berbagai pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh para
ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah penyakit sampar),
pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai sekarang memasuki masa
pembangunan.
Di balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus mengakar
pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus menerus
menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai mengarahkan
orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para ulama/mubaligh/kiyai. Dalam
situasi seperti ini, yang bermula sejak pertumbuhan Islam di Banten, budaya
pesisiran dan budaya pedalaman di daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy)
terus menerus memantapkan keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya
Banten dapat disetarakan dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.
awara dalam kehidupan masyarakat Banten
Di sebagian masyarakat Jawa bagian Barat umumnya dan Banten khususnya,
keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Jawara
bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya
ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang hingga kini masih
tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19 kelompok jawara telah
menjadi bagian dari golongan elit masyarakat selain kaum ulama dan pamong
praja.
Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh masyarakat
yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting. Masyarakat mematuhi
perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai sosok yang disegani. Berbeda
dengan kedudukan ulama, pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang
kedudukannya tidaklah melebihi kedudukan kaum ulama. Namun diantara ketiganya,
ulama dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan
bagai dua sisi mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya,
jawara dianggap sebagai “khodam” nya para ulama. Karena dari para ulamalah
sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para ulama
dan jawara”.
Seiring dengan perjalanan waktu, persepsi masyarakat terhadap Jawara memiliki
pemahaman yang beragam, mulai dari hal yang positif sampai ke hal yang negatif.
Pemahaman masyarakat yang beragam ini tidak terlepas dari sepak terjang sosok
Jawara, yang memiliki peranan cukup besar dalam tiga masa perjalanan sejarah di
Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu masa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, dan
masa kolonial Belanda. Belakangan, kehidupan jawara dengan character building
yang khas itu menciptakan sub kultur kebudayaan baru masyarakat Banten dan
sekitarnya, yaitu Subculture of Violence (sub kultur kekerasan). Permasalahan
ini muncul ke permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan
sehingga sebagian masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan
premanisme.
Sebagai subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertentu dalam
melakukan kekerasan. Merekapun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata yang
khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri yang berbeda
dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan memakai senjata golok
(Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI).
Penampilan terakhir inilah yang sebagian besar masyarakat umum diidentikan
dengan pencak silat tradisional.
Penafsiran Sejarah Istilah Jawara
Belum adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah
jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk diketahui
secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara ini diberikan kepada
seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung
menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya
dengan istilah jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara
baru terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat “stamboom” bukan
“geschiedenis” atau “history”, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung
jawabkan.
Dari stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah
Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, karena jawara
merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat terkenal. Hingga
dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang melingkupinya termasuk
Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan bersamaan dengan dimulainya proyek
pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan
Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).
Berdasar catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S
menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri memiliki empat
penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.
Penafsiran pertama ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat
sebagai perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka
memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi juga
membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke khasan dalam
berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung ayam, pandai bermain
pencak silat dan memiliki ilmu “kadugalan” yang kebal senjata tajam sebagai
kekuatan supranaturalnya. Dalamperkembangan selanjutnya, keterampilan bermain
silat dan kekebalan tubuh yang dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga
melahirkan sebutan jawara.
Penafsiran kedua, ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana
Hasanuddin. Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan
membentuk sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh
Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan batin,
militan dan mampu mengahncurkan secara cepat menyusup ke pusat pemerintahan
Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu diberi nama
Tambuhsangkane, yang bergerak dengan tidak mengatas namakan kesultanan Banten.
Sifat militan yang dimiliki oleh pasukan khusus ini menumbuhkan sifat pemberani
dan kemudian dibina secara terus menerus. Dari merekalah kemudian lahir kaum
jawara.
Penafsiran ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah
jawara dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan pemuda
di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah sebagai “bayi yang menjelang
dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada awalnya dibentuk untuk meningkatkan
hubungan kekerabatan dalam satu lingkungan, memberikan pertolongan dan
pelayanan dalam segala kegiatan termasuk membantu masyarakat dalam
penyelenggaraan pesta atau acara kampung.
Lambat laun tugas yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini sebagai
penyelenggara acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila tidak diundang atau
diserahkan sebagai petugas penyelenggara mereka akan mengacau atau bahkan
menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya, kelompok ini berkembang
menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal dengan sebutan jawara. Mereka
menjadi organisasi momok yang menakutkan bagi masyarakat, sampai-sampai aparat
praja setempat tidak dapat bertindak tegas kepada mereka.
Penafsiran keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi
perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh
kaum ulama. Kaum ulama yang umumnya memiliki dua kelompok santri yang dididik
berdasar bakat dan kemampuan mereka, dimana kelompok pertama merupakan kaum
santri yang memiliki bakat di bidang ilmu agama yang akan menggantikan posisi
para ulama nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah selain ilmu agama Islam
sebagai ilmu dasarnya . Sedangkan kelompok kedua merupakan kaum santri yang
memiliki bakat dan kemampuan di bidang bela diri pencak silat. Kelompok kedua
ini dididik dan dibina kekuatan fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat,
dan dibekali pula dengan ilmu hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya
dibanding santri kelompok pertama. Mereka ditugasi untuk melakukan teror terhadap
pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang
kemudian hari disebut dengan jawara.
Penafsiran kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik
Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles
(1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan
rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan,
dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini
memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian
jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun
memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan
itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan
ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya
sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan
Sunda, kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi
pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan
perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda
dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan
pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan
Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai
pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah
bandit sehingga perlawanan dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan
penjajahan asing dianggap sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden
(pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust
(ketidak amanan). Sejak saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang
mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari
jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang beani
menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus berkembang
sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh
stigma negatif Belanda tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak dalam
konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha mengcounter
dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan berani dan ramah).
Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki perilaku negatif, namun hal ini
dapat diselesaikan di dalam internal kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri.
Umunya dalam suatu organisasi kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat
konvesional untuk menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang
berperilaku negatif.
Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman
Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian
bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan
perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga
keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati
keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena
semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah Betawi
sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat
natif Betawi berangkat dari istilah “potong letter” lidah natif Betawi yaitu
juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau
pencak silat.
Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut
Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya
“champion” atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi lain menurut
tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi golongan “tukang
pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada lebih positif ketimbang
istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat
yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan
pemberani. Secara hirarki, jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding
jawara. Karena sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat
dikatakan sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan
masyarakat sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan
secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan
atau sesepuh.
Lalu bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword dari
bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam bahasa Inggris
disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3
arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara,
sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3.
kuli yang bekerja menggarap sawah. Secara umum istilah preman dapat disimpulkan
sebagai sebutan pejoratif (kata sandang merendahkan) yang sering digunakan
untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya
terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan makna,
fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita tidak
terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.
Sumber tulisan:
Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI,
Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP Jakarta 1996
Miftahul Falah, S.S, Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta1995
Ridwan Saidi, Glosari Betawi, Jakarta 2007
RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan
Banten, Jakarta1995
Tasbih & Golok, Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten,
STAIN Serang, 2002
Kota Banten, Amsterdam di Hindia Belanda
Banten menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun yang lalu,
pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan julukan Penembahan
Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin hubungan perdagangan dengan
bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan banyak pula melakukan
manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang membuat cemas bangsa
Eropa, karena dalam persaingan perdagangan internasional. Banten merupakan
pesaing yang cukup disegani oleh bangsa Eropa pada masa itu.
Cerita ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan tidak
dapat diremehkan. Terlebih dalam kemapuan berpolitik, seperti yang tersirat
dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi diserahkan oleh Duta
Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati Serang Mas Ahmad Sampurna
dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang lalu.
Buku dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan pada
saat itu dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan hasil dari para
peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Prancis
dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat dan merestorasikan kerajaan
serta kesultanan Banten, penelitian ini berlangsung hingga tahun 1987. Menurut
Dubes O’Cornesse, penelitian tersebut bertujuan untuk mengangkat kembali
kebesaran masa silam bangsa indonesia, terutama kesultanan Banten yang telah
terkubur dalam tanah dan dalam arsip-arsip yang ada di Eropa. Perancis atau
bangsa Eropa lainnya, mengagumi Banten dan menjadikannya satu pelabuhan
kosmopolitan besar pada abad 17, Banten di masa itu merupakan pusat peniagaan
dunia, kemasyurannya tetap tersimpan dalam kenangan bangsa perancis kata
O’Cornesse.
Menurut catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang menjadi
pusat perdagangan, terutama pada 1570 samapi abad 19. kota Banten Lama yang
didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten), juga
berkembang menjadi satu kota muslim yang bersaing dengan negara-negara Arab
dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid besar.
Kota Banten, atau Bantahan menurut sebutan negara Barat, dikenal sebagai kota
metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari sarana dan pra
sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang menarik para pedagang Eropa
dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal Belanda pada tahun 1596 Banten
disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan yang sama besar dengan Kota di Amsterdam
saat itu, sama pula yang diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu
tiba di Banten pada abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau
berucap bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang
ramai dengan para pedang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten terkenal
dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa.
Pada tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha
Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.
Perdagangan lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga para sultan
Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya komoditi tersebut.
Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu jenis lada di Banten lebih
baik dibadingkan mutu lada dari Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di
gemari oleh bangsa Eropa termasuk bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan
dan Portugal untuk mencari lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan
petualangannya untuk mengelilingi dunia.
Para sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi lada di Banten, dengan
cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun di kota untuk membawa
hasil lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah dengan standar mutu tinggi.
Begitu pula penduduk di daerah Sumatera diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada
dan hasilnya dikirimkan ke Kota Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi
lada adalah di Kampung Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tidakan
ini bangsa Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.
Banten bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan internasional
setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka, Banten menjadi pusat
persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa, khususnya Belanda dan
Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran untuk merebutkan pasar dan
pusat produksi lada. Malaka akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1641.
Portugis segera menjalin perdagangan dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar
pentingnya armada dagang untuk menguasai dan mempertahankan industri lada,
sekaligus berdagang langsung dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya. Akhirnya
pada tahun 1660-an Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada kapal dagangnya
dengan model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa Inggris dipercaya untuk
membangun armada tersebut.
Kesultanan Banten memasuki persaingan perdagangan lada internasional yang
sangat ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672 sampai VOC
(Belanda) merebut Banten pada tahun 1682. saat kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa
Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar.
Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan
Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang paling
meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan
diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada
tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM) dan Plinius (akhir
abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari
Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian
menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut
Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar