I. Pengaruh Sistem Kerohanian Hindu-Budha di Sumatera
Pengaruh
India di wilayah ini memang terjadi hingga paruh abad 8. Tetapi sulit
memastikan apakah ini berjalan lantaran ekspansi, perjalanan dagang atau
usaha pelarian politik dari India ke Nusantara atau sebaliknya. Yang
jelas pada masa-masa awal telah dikenal nama-nama India seperti
Mulawarman (dari Kutai), Açwawarman dan Purnawarman (dari Tarumanagara,
Jawa Barat) dan agama yang dianut adalah agama Brahma dan Hindu dengan
tiga dewa utamanya: Brahma, Çiwa dan Wisnu.
Penggunaan
nama-nama India boleh jadi merupakan bagian dari usaha untuk
melegitimasi kekuasaan. Seperti diketahui wilayah-wilayah kerajaan pada
waktu itu tidak mengenal sentrum kekuasaan tunggal dan masih terpecah
dalam bagian-bagian kecil. India adalah salah satu locus yang
memiliki sejarah panjang kebudayaan dan menghasilkan banyak peradaban
besar, mulai dari filsafat, agama, tehnologi, ekonomi hingga politik.
Sekiranya hal itulah yang mendorong pengambilan nama ataupun
simbol-simbol lain yang ada di India. Transformasi atau sebutlah
pengutipan tersebut tidak lain dari usaha untuk menyamakan diri dengan
pusat kekuasaan atau kebudayaan yang berfungsi untuk mengikat daerah
lain yang lebih kecil di dalam satu payung kekuasaan. Implikasi logis
dari kedekatan dengan kebudayaan India itu adalah lahirnya kekuasaan
pendeta atau heirocratic civilisation.
Di sini peran pendeta menjadi tak tertolak karena ialah yang berkuasa
penuh untuk menghubungkan raja dengan sumber kekuasaan yang mutlak.
Akhirnya konsolidasi kekuasaan terlihat pula pada digunakannya aksara Dewanagari dan Pallawa.[1]
Kehadiran
Hindu segera disusul oleh Gunawarman yang masuk ke Nusantara tahun 420 M
untuk melakukan syiar Budha. Raja Kashmir tersebut datang bersama
rombongan pendeta Budha dan sejak saat itu agama Budha menjadi agama
kalangan atas.
Berita
pada masa itu diperolah melalui catatan yang dibuat oleh Fa Hien,
seorang rahib Budha yang dari Cina yang sedang singgah di Nusantara,
khususnya Sumatera dan Jawa karena perahunya terkena badai. Fa Hien
berada di Nusantara selama lima bulan, antara Desember 412 – Mei 413.
Dalam laporannya, Fa Hien mengatakan bahwa kebanyakan penduduk menyembah
berhala. Berita selanjutnya baru datang dari It Sing yang mengadakan
perjalanan suci antara tahun 671-695. It Sing mengatakan bahwa ketika ia
singgah di Sumatera, ia telah mendapati beribu orang menjadi penganut
Budha. Tampaknya keberhasilan Gunawarman yang juga menyebarkan Budha di
Tiongkok menyebabkan peziarah Tiongkok yang akan ke India masuk ke
Sumatera. Iklim itu menyebabkan maraknya perkembangan agama Budha di
Sumatera khususnya di Sriwijaya.
Hindu-Budha
kemudian menjadi agama resmi di banyak kerajaan baik di Sumatera
ataupun di Jawa. Sriwijaya bahkan pernah menjadi salah satu pusat
pengajaran Budha terbesar. Diantara yang terkemuka itu terdapat seorang
pemuka agama yang bernama Dharmapala. Pada abad ke-7, tokoh inilah yang
menyebarkan dalil Mahayana di Sumatera sedangkan pada waktu itu Sumatera
masih dikuasai oleh Budha Hinayana. Dharmapala sebelumnya adalah
seorang guru yang mengajar di Nalanda, kota biara di dekat Sungai
Gangga. Di Sumatera, Hindu-Budha bertahan lebih dari 600 tahun,
kira-kira mulai abad 7-13 M.
II. Pengaruh Sistem Kerohanian Hindu-Budha di Jawa
Sumardjo
mengatakan bahwa kekuasaan Hindu-Budha di Jawa bertahan kurang lebih
1000 tahun. Diduga Hindu-Budha masuk mulai abad ke 6-7 dan berkembang di
sepanjang lereng Merapi-Merbabu (wilayah Tuk Mas). Kekuasaan
Hindu-Budha baru mengalami kemunduran setelah Majapahit dijatuhkan
kekuatan Pantai Utara Jawa. Sementara di Sunda, kekuasaan Hindu-Budha
berdiri hingga lebih dari 1100 tahun dan baru hancur ketika Pajajaran di
taklukan oleh kekuatan Banten (1579) yang telah menjadi Islam
(Sumardjo, 2002: 28).[2]
Kalingga, Tarumanegara dan Taruma
Awalnya,
berita tertulis tertua di Nusantara di temukan di tepi Sungai Mahakam,
Kutai, Kalimantan Timur, menggunakan hurup Pallawa dan bahasa Sanskrit.
Prasasti bertarikh 400 M itu menjelaskan bahwa saat itu telah terdapat
seorang Pangeran yang termasyur. Pangeran tersebut bernama Kundungga dan
telah memiliki anak yang bernama Açwawarman, sang pendiri wangsa.
Prasasti itu didirikan oleh ‘pemuka dari yang lahir dua kali’ dan
ditujukan untuk mengenang segala jasa baik Mulawarman, anak Açwawarman
yang telah mempersembahkan banyak emas. Setelah itu baru ditemukan data
arkeologis yang menunjukan adanya seorang Raja di barat Pulau Jawa,
yakni Purnawarman. Kerajaannya disebut dengan Tarumanegara dan Raja
tersebut memerintah selama 22 tahun. Diperkirakan prasasti yang
ditemukan di Bogor dan di Tugu merujuk pada kitaran abad ke-4 atau ke-5.
Lepas
itu diperkirakan lebih dari 200 tahun tidak didapati berita mengenai
Nusantara. Namun demikian ada beberapa berita resmi Dinasti Liang
(502-556) yang menyebut nama Kerajaan Lang-ga-su yang terletak di Pantai
Selatan Jawa. Beberapa pihak berspekulasi bahwa yang dimaksud dengan
lang-ga-su atau Langg-ga adalah Kalinga (tetapi data mengenai Kalinga
baru di buat pada masa Dinasti Tang, 618-906 M). Kerajaan ini sangat
kaya karena memiliki 28 negri yang mengakui kekuasaan rajanya. Kalinga /
Kaling atau Holing sempat dipimpin oleh Ratu yang sangat ternama karena
kebijaksanaannya, yakni Ratu Sima. Ratu ini sangat terkenal karena
ketegukan dan kebijakannya. Pada jamannya, hukum nagari ditegakkan.
Negara menjadi sangat teratur dan tidak ada satu penyamunpun berani
berkeliaran disana. Ia pernah menghukum anaknya sendiri karena menyentuh
emas yang milik Pangeran Arab yang ada diperbatasan negri (di tempat
umum). Namun atas permintaan para mentri hukuman dikurangi menjadi
memotong kaki dan kembali atas desakan para mentri akhirnya Ratu Sima
hanya memenggal jempol kaki putranya. Melihat hal itu Pangeran Arab yang
sebelumnya berniat menyerang Kalinga pun membatalkan niatnya. Ratu Sima
ditasbihkan pada tahun 647 M.
Di
Jawa Barat sendiri, selain Taruma terdapat beberapa kerajaan di bawah
hukum Hindu-Budha. Sebut saja Galuh, Saunggaluh dan Pajajaran.
Sayangnya, sedikit sekali peninggalan arkeologis maupun susastra yang
cukup representatif untuk menggambarkan keadaan pada waktu itu sehingga
hanya dapat diketahui bahwa pada masa itu agama Hindu-Budha pertama kali
dipelajari melalui jalan literal. Dengan demikian dapat dikatakan jika
kegiatan intelektual menempati posisi penting dalam perkembangan
Kerajaan, sementara ketika agama Hindu-Budha berkembang dikalangan
Istana, agama Rakyat—yang kerap disebut dengan Agama Sunda—tetap
berkembang di luar pagar istana. Dikenalnya konsep Sang Hyang Tunggal
pada masyarakat Sunda adalah bukti transformasi kosmologi dan teologi
Hindu dengan Agama Sunda.
Selain
itu, berbeda dengan wilayah lain, di Sunda hampir tidak diketemukan
data-data yang menunjukkan hasrat penguasaan wilayah (baca: ekspansi)
dari satu kerajaan ke kerajaan lain (sehingga sedikit prasasti
diketemukan). Puncak kekuasaan baru terbangun beberapa waktu kemudian,
itupun di bawah penguasaan kekuatan Islam yang masuk melalui ekspan
Sunan Gunung Jati. Selepas itu tidak ada berita apapun yang menceritakan
sisa-sisa kejayaan Hindu-Budha di Tanah Sunda.
Prijohutomo
(1953: 97) menganggap kejatuhan Hindu-Budha sebenarnya terjadi setelah
Kerajaan Pajajaran hancur akibat perang Bubat dengan Majapahit. Seperti
diketahui kegagalan pernikahan Hayam Wuruk dengan Puteri Sunda berakhir
dengan tewasnya seluruh anggota kerajaan. Puteri Sunda dan ibunya
sendiripun kemudian melakukan bela pati yang
waktu itu memang menjadi tradisi Hindu-Budha. Tak lama setelah itu,
menurut Prijohutomo, Pasundan pun segera diislamkan (1522-1526).
Sanjaya dan Çailendra
Sementara
itu di Jawa Tengah berdiri satu kerajaan yang kelak menjadi salah satu
dinasti terbesar, Çailendra. Prasasti Tjangal – Kedu (Barat Daya
Magelang), tahun 732 menyebut Sanjaya putra Sanna adalah Raja yang
memerintah kerajaan dengan adil, walau dalam cerita Prahyangan, Sanjaya
atau Rake Mataram dianggap sebagai raja yang banyak melakukan peperangan
untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Sanjaya dipercaya pernah mencoba
merampas Criwijaya, Khmer di Birma hingga Bali.
Dalam
pemerintahannya itu, Sanjaya di bantu oleh seorang kakak perempuannya.
Secara spekulatif beberapa pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan kakak perempuan Sanjaya adalah Sima. Namun tidak terdapat bukti
yang cukup mendukung pernyataan ini. Selain kemungkinan letak Medang
ibhumi Mataram (walaupun tidak dapat dipastikan dengan jelas) secara
geografis tidak begitu jauh dengan Kalinga. Berdasar prasasti Tjangal
diketahui pembuatan Lingga (lambang Çiwa) di Selatan Muntilan atau
tepatnya daerah sekitar Salam. Sementara daerah kekuasaan Çailendra
sendiri terbentang luas sepanjang wilayah Klaten – Jateng, DIY dan
Magelang kini dan wilayah Kalinga dalam berita Cina (dari masa Dinasti
Tang) di sebut berada di Laut Selatan, sebelah timur Sumatera dan barat
Bali. Namun demikian, menurut Simbolon (1995: 381) di Prasasti Tjangal
disebutkan pula bahwa ada pulau yang begitu sempurna karena terkenal
kaya akan padi-padian dan kaya akan tambang emas. Pulau itu disebut Yawa
dan Sanjaya adalah Raja Yawa yang berasal dari Kunjarakunja. Menurut
Krom, Kunjarakunja adalah daerah di sekeliling Gunung Agastyamalai dan
dahulu dikenal sebagai Kunjara. Letak Gunung tersebut di sebelah ujung
selatan India.
Sanjaya
sendiri penganut agama Bhrama atau mungkin Hindu Çiwa namun
penggantinya, Tejahpurnapana Panangkarana / Kariyana Panangkarana atau
disebut Pancapana adalah penganut Budha Mahayana. Di bawah kekuasaan
Pancapana dan anaknya inilah, Dharanindra (dari hasil pernikahan dengan
seorang perempuan keturunan Fu Nan – Hindia Belakang) berbagai candi
besar didirikan.
Menurut
Prijohutomo (1953: 23), Rake Panangkaran atau Pancapana boleh jadi
telah membagi dua wilayahnya. Yang satu diberikan kepada Dharanindra
yang kemudian menghasilkan dinasti Çailendra sementara satu bagian lain
dipegang oleh Rake Panunggalan. Kemungkinan Rake Panunggalan ini adalah
anak dari selir. Setelah kekuasaan Rake Panunggalan tidak dapat
diceritakan secara detail apa yang terjadi dengan Dinasti Sanjaya karena
minimnya data yang ditinggalkan. Yang pasti secara berturut-turut,
setelah Rake Panunggalan, tampuk kekuasaan dipegang oleh Warak, Gerung
dan Pikatan. Mereka ini kemungkinan penganut Çiwa.
Satu
versi lain mengenai Sanjaya-Çailendra wangsa, berasal dari cerita
tutur. Dikabarkan bahwa sebenarnya Sanjayalah yang telah membagi
kerajaan. Satu bagian diberikan kepada Pancapana dan bagian lainnya
kepada Indrayana. Menurut cerita itu, Istana Indrayana lebih besar dan
megah dibanding miliki Pancapana, namun entah mengapa nama Indrayana
sendiri ‘tidak termuat’ dalam bagan Dinasti Mataram. Tidak diketahui
dengan pasti apa atau bagaimana kelanjutan cerita dari Indrayana ini.
Versi ini secara tidak langsung dibenarkan oleh Pramoedya Ananta Toer
dalam kisahArok Dedesnya.
Dalam kisah tersebut diberitakan jika wangsa Çailendra yang kalah dari
Sriwijaya masuk ke Jawa dibawah perlindungan Sunnaha (Sanna) dan
mendapat daerah dari wilayah milik Mataram. Namun pada masa kepemimpinan
Pancapana, wangsa Çailendra menjadi lebih berkuasa. Kedudukan kaum Çiwa
dari wangsa Sanjaya tergeser sampai-sampai Pancapana harus membuat
Candi Kalasan, sebagai perlambang berkuasanya Budha dari Tantrayana dan
Yoga, di bawah petunjuk Indra. Kekuasaan kaum Çiwa sendiri baru mendapat
tempat kembali setelah Rakai Pikatan menikahi Pramodawarddhani.
Tahun
778, Pancapana mendirikan Candi Kalasan. Menurut Prasasti Kalasan, yang
berhuruf Pra-nagari, berbahasa Sanskerta dan berangka tahun 778 M,
Kalasan merupakan candi pemujaan kepada Tara, isteri Avalokitesvara,
seorang Dewi bagi penganut Mahayana. Setiap delapan tahun sekali para
yogin dan mahasiddha dari berbagai wilayah berkumpul di candi ini untuk
memuliakan Tara. Kemungkinan Dharanindra, yang awalnya dikenal sebagai
penganut Budha, menjadi penganut Mahayana setelah anaknya, Samaratungga
atau Samaragrawira menikah dengan putri mahkota Çriwijaya, Tara. Seperti
diketahui Mahayana masuk ke Çriwijaya pada awal abad ke-7, barang pasti
besan Dharanindra ini telah memeluk Mahayana pula. Pernikahan
Smaratungga ini terjadi pada tahun 775 M.
Putra
Dharanindra, Samartungga kemudian naik menduduki kursi kekuasaan hingga
wafatnya, 812. Tahun 824 Samaratungga diketahui telah membuat candi
Wenuwana / Ngawen di sebelah barat Muntilan. Anehnya, seperti halnya
Kalasan, pemberi tanah untuk bangunan tersebut adalah seorang raja
keluarga Sanjaya, yaitu Rakai Garung. Boleh jadi kedudukan wangsa
Sanjaya pada masa ini memang masih berada di bawah angin terutama
setelah naiknya Indra dari wangsa Çailendra. Borobudur di Bhumisambhara
kemungkinan juga dibangun pada masa Samaratungga. Kekuasaan Samaratungga
dilanjutkan oleh puterinya Pramodawarddhani yang menikah dengan Rake
Pikatan, dari Dinasti Sanjaya.
Dengan
demikian pernikahan Pramodawarddhani dan Pikatan ini adalah perkawinan
politik karena mencoba menyatukan cabang keturunan dua wangsa. Seperti
diketahui Agama Budha yang mekar bersama datangnya wangsa Çailendra di
Jawa telah dianggap ‘memaprasi’ candi-candi Çiwa Sanjaya sebagai umpak
kuil stupa mereka. Ini berarti Kamahayanikan (buku suci kaum Mahayana) membahayakan posisi Brahmandapura (buku
suci kaum Çiwa). Keadaan ini tidak sepenuhnya dapat diterima para
Brahmana Çiwa. Mereka dalam perjuangannya terus mencoba mengembalikan
kedudukan kaum Çiwa, bahkan hingga jaman Airlangga dan Angrok kelak.
Perkawinan Pramodawarddhani dan Pikatan boleh jadi adalah upaya awal
untuk meredam konflik sosial yang dilakukan dengan jalan meleburkan
Budha-Çiwa walaupun belum bersifat resmi. Salah satu peninggalan
arkeologis yang cukup representatif untuk menggambarkan persenyawaan itu
adalah Candi Plaosan. Candi ini dibangun oleh Pramodawarddhani,
sementara Pikatan membangun kelompok candi Hindu, Loro Jonggrang. Yang
menarik, kedua candi itu dibangun dalam satu wilayah (berjarak sangat
dekat).
Sebelum
dilanjutkan oleh Rake Kayuwangi, tampuk kekuasaan sempat di serang oleh
Balaputradewa pada 856 M. Namun demikian serangan tersebut gagal.
Balaputradewa melarikan diri ke Suwarnadwipa dan pada gilirannya justru
menjadi salah satu raja yang membesarkan Çriwijaya. Seperti diketahui
Balaputeradewa adalah adik dari Pramodawarddhani. Awalnya ia adalah
calon pengganti tahkta wangsa Çailendra sebelum akhirnya dihalau
Pikatan. Di bawah Rake Kayuwangi sendiri Budha-Çiwa menjadi agama resmi
kerajaan. Selain itu ia pulalah yang mengembangkan pertanian sebagai
ganti biaya pembangunan candi yang telah berlangsung selama beberapa
waktu itu.
Kekuasaan
sendiri segera berpindah. Berturut-turut setelah Rake Kayuwangi, Rake
Humalang, Rake Watukara atau terkenal dengan sebutan Balitung, lalu
menyusul Daksa, Tulodong dan Wawa.[3] Semenjak jaman Balitung sampai
dengan Wawa sendiri dikatakan jika kekuasaan kerajaan telah meluas
hingga ke Jawa Timur. Tidak dapat dipastikan apakah alasan yang
mempersatukan wilayah kekuasaan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu.
Satu-satunya kemungkinan adalah perluasan wilayah akibat pernikahan
dengan keluarga Raja daerah sekitar (mungkin pernikahan keluarga wangsa
Mataram dengan keluarga Kerajaan Kanjuruhan, Jawa Timur telah terjadi).
Dan untuk pertama kalinya, pada pemerintahan Balitung inilah kerjaan di
sebut dengan nama ‘Mataram’.
Untuk
menutup bagian ini, patut disebutkan bahwa kedua wangsa ini, walau
mengandung benih seteru tetapi setidaknya berhasil menunjukkan ikatan
yang saling mengisi. Hal ini minimal terlihat dari bagaimana misalkan
Wangsa Sanjaya ‘menghibahkan’ tanah mereka kepada penguasa Çailendra
ketika mereka berencana mendirikan candi atau lainnya. Seperti diketahui
peninggalan candi dari kedua wangsa ini sangatlah banyak. Selain yang
sudah disebut masih terdapat pula misalkan Candi Mendut, Pawon, Sewu dan
Candi Sari, sementara Dieng sendiri didirikan oleh Sanjaya sekitar
tahun 732 sebagai persembahan kepada Çiwa.
Kanjuruhan
Di
masa yang hampir sama dengan berdirinya Sanjaya-Çailendra Wangsa,
rupanya di ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa
Kejuron). Rajanya bernama Dewasimha dan ia berputra Limwa (bernama
Gajayana saat mengganti ayahnya). Mereka ini mendirikan sebuah tempat
pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760. Upacara peresmian
sendiri dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Çiwa).[4] Cuplikan
mengenai Kanjuruhan ini sendiri diperoleh dari Prasasti Dinoyo: berangka
tahun 760, berhuruf Kawi, berbahasa Sanskerta, diketemukan di desa
Dinoyo (barat laut Malang).
Kahuripan
Panggung
sejarah tanpa diketahui pasti penyebabnya kemudian pindah ke Jawa
Timur, tepatnya ke hulu Sungai Brantas. Adalah Sindok yang bergelar Çri
Maharaja Çri Içana Wikramadharmottunggadewa yang berhasil mendirikan
dinasti yang pada gilirannya mampu bertahan selama 3 abad lamanya.
Perpindahan
panggung sejarah ini sebenarnya tidak serta merta. Walaupun sebab
kepindahan sulit dipastikan kecuali spekulasi meletusnya Merapi di
sekitar tahun 1006, Prijohutomo (1953: 35-37) mengatakan bahwa
sebenarnya hampir selama 10 tahun Sindok menjadi pejabat tinggi pada
masa pemerintahan Tulodong dan selanjutnya menjadi Rakryan Mapatih pada
masa Wawa. Sindok naik tahta pada 929-947 M. Selama masa pemerintahannya
ia menjalankan kekuasaan bersama dengan Parameçwari atau isterinya,
yakni puteri dari Rakryan Bawang. Dengan silsilah demikian Sindok dalam
statusnya adalah raja menantu.
Setelah
wafat, Sindok digantikan oleh puterinya, Çri Icanatunggawijaya. Dari
pernikahan Icanatunggawijaya dengan Lokapala, lahirlah
Makutawangçawardana yang kelak menjadi ibu dari Mahendradatta.
Dijelaskan oleh Wojowasito (1954: 27) bahwa setelah Makutawangçawardana
berkuasa, keturunan Sindok tidak lagi memeluk Budha Mahayana melainkan
Wihsnuisme.
Mahendradatta
sendiri setelah menikah dengan seorang Pangeran Bali, Dharmodayana atau
Udayana yang tidak memerintah di Jawa Timur tetapi di Bali. Menurut
Wojowasita (1954: 27) Udayana berada dibawah penguasaan
Makutawangçawardana dan Dharmawangça. Mahendradatta sendiri kemudian
melahirkan Erlangga yang kemudian menjadi salah satu raja besar yang
terkenal karena kebesaran dan kebijaksanaannya.
Seperti
diketahui setelah di jodohkan dengan puteri Dharmawangça, Erlangga
menetap di Jawa. Namun pada saat yang bersamaan keadaan politik tidak
menguntungkan. Pada saat itu Dharmawangça tengah menyerang Çriwijaya,
namun serangan tahun 1006 itu dapat digagalkan. Sebaliknya, tahun 1007
Çriwijaya datang menyerang. Seketika itu kekuatan Dharmawangça dapat
dilumpuhkan sementara Dharmawangça sendiri gugur dalam pralaya itu.
Beruntung Erlangga yang masih berumur sangat muda berhasil
menyelematkan diri walau telah kehilangan mertua sekaligus isterinya. Ia
lari keluar dari Istana, hidup sebagai pertapa di sembarang tempat
sambil ditemani oleh pengawalnya yang setia Resi Narottama. Erlangga
sendiri kemudian dapat membangun kekuatan terutama setelah sebuah
kebetulan membantunya.
Dharmawangça
sendiri di duga adalah pengganti Makuta dan memerintah antara 991-1007
M. Menurut Simbolon (1995: 15), Dharmawangça adalah raja pertama yang
melakukan politik luar negeri. Ia melakukan perluasan kekuasaan tidak
saja di Pulau Jawa melainkan hingga ke timur: Bali, utara: Kalimantan
dan ke barat: Çriwijaya. Penyerangan ini sendiri di duga berangkat dari
hasrat untuk menguasai jalur perdagangan dan bandar Çriwijaya. Seperti
diketahui pada saat itu, Çriwijaya merupakan daerah transit terbesar
selain merupakan pusat pengajaran Budha terbesar (kebetulan Budha di
India sedang surut sementara di Cina sedang dimusuhi). Faktor eksternal
lain yang di duga turut memicu perluasan kekuasaan Dharmawangça adalah
kebijakan yang baru saja dikeluarkan oleh Dinasti Sung (960-1279).
Revolusi birokrasi memberi kesempatan yang sama kepada setiap rakyat
untuk dapat menduduki posisi pejabat negara. Hal ini mendorong pula
aktivitas perdagangan yang sebelumnya bergerak stagnan. Akibatnya pasar
Nusantara kembali ramai dikunjungi oleh para padri dan pedagang Cina.[5]
Mengenai ekspansi Dharmawangça ke Çriwijaya, dalam Arok Dedes, Pramoedya
Ananta Toer berpendapat jika salah satu alasannya adalah guna memukul
mundur akar kekuatan Mahayana yang telah menekan kekuatan Çiwa Jawa.
Sayangnya hal ini dinodai oleh penerusnya setelah pralaya, Erlangga, karena raja muda ini lebih memilih Dewa Pertanian-pedalaman, Wishnu sebagai sesembahan.
Kebetulan
yang menyelamatkan Erlangga mulai berlangsung ketika pada tahun 1023
dan 1030, Raja Cola Rayendraçoladewa I menyerang Çriwijaya. Tidak hanya
itu Rayendraçoladewa juga menyerang Kerajaan Melayu (Jambi), Panai,
Pantai Sumatera Timur, Kedah, Lamoeri (Aceh Besar) dan Nikobar. Dengan
begitu kekuatan yang sebelumnya di dominasi kerajaan di bagian barat
mulai melemah. Pada saat itulah Erlangga segera menggalang konsolidasi
dan menundukkan raja-raja yang dulu pernah berada dalam vasal
Dharmawangça namun karena kejatuhan Dharmawangça kemudian melepaskan
diri. Kerja itu dilakukannya hingga tahun 1037. Setelah kemenangannya
itu Erlangga segera memindahkan istana ke ibu kota baru dan menasbihkan
kerajaannya yang bernama ‘Kahuripan’. Sementara itu di Bali, Anak
Wungsu, adik bungsu Erlangga berkuasa dan pada gilirannya mengembangkan
kebudayaan Jawa Kuno.
Erlangga
sendiri tercatat sebagai seorang raja yang memperhatikan pengembangan
kesenian dan kebudayaan, selain berhasil memajukan kesejahteraan rakyat
melalui perbaikan ekonomi dan perbaikan fasilitas umum. Beberapa hal
yang patut dicatat pada masa pemerintahannya adalah,pertama, secara revolusioner ia menghapuskan perbudakan (bahkan jauh sebelum Magna Chartadikumandangkan Raja John tahun 1215 di Inggris) melalui peniadaan kasta waisya (kasta terendah) dan hanya mengakui triwangsa.
Pada klausul ini disebutkan jika urusan manusia dengan dewa menjadi
bukan monopoli para pandita-brahmana saja dan dengan demikian seorang
sudra dapat menjadi satria ataupun menjadi brahmana karena dharmanya. Kedua,
untuk mewartakan ‘suara dewa’ Erlangga mempergelarkan pagelaran wayang.
Dalam pagelaran ini bayang-bayang leluhur dalam wayang dapat dianggap
sebagai bayangan dewa sendiri—hal mana ditolak mentah-mentah oleh kaum
Çiwa karena selama ini mereka tidak menggunakan leluhur sebagai
lantaran.
Sementara
itu untuk mengikat dan memperkuat hubungan, terutama dengan Çriwijaya
yang sebelumnya bersengketa dengan mertuanya, Erlangga kemudian menikahi
puteri Çriwijaya setelah penyerangan kedua Raja Cola. Dan untuk
mengenang pernikahan agung tersebut Mpu Kanwapun menggubah Arjunawiwaha dalam Jawa—yang merupakan saduran parwa ketiga Mahabharata,Aranyaparwa—sebagai
persembahan. Menurut Pramoedya, inilah kali pertama tokoh manusia raja
didewakan dalam buku suci. Gejala yang akan diikuti oleh banyak raja
kemudian; Kresnayana karangan Mpu Triguna pada jaman Jayawarsa, Smaradhahan gubahan Mpu Dharmaja pada masa Kamecwara,Hariwangsa buatan Mpu Panuluh jaman Jayabaya, Gatotkacasraya ciptaan Mpu Tanakung masa Kertajaya, dsb.
Selain itu Erlangga juga memerintahkan para pujangganya untuk mengadaptasi Mahabaratha dari
Sanskerta ke Jawa. Dengan cara ini kebudayaan Hindu-Jawa (aliran
Wishnu) kembali hidup dikalangan rakyat kebanyakan dan mulai menggeser
Hindu-Budha (Çiwa) yang sebelumnya berkembang melalui jalur literer.
Tidak hanya itu, Erlangga juga diyakini mengadakan kodifikasi hukum
untuk pertama kalinya yang disebut dengan Siwasasono.
Raja
yang terkenal bijak ini sebenarnya menyisakan nasib tragis. Walaupun ia
berhasil mensejahterakan rakyatnya, tidak serta merta ia dapat diterima
sebagai bagian dalam wangsa Isana. Kaum Brahmana mengecam lengsernya
kedudukan Ciwa pada masa ini yang digantikan oleh Wishnu. Adapun
kedudukannya sebagai raja menantulah yang dijadikan alasan untuk
menggantikan kedudukannya.
Adalah
Samarawijaya, cucu langsung Dharmawangça, penerus wangsa Isana yang
dianggap sah sebagai putera mahkotanya untuk menggantikan dirinya
sekaligus menggeser kedudukan Sanggramawijaya puteri kandungnya sebagai
penerus. Polemik Erlangga dengan janda dari Jirah, ketua kabikuan Budha
pada gilirannya memaksa dirinya untuk membelah kerajaan. Awam mengetahui
jika pembagian ini terjadi lantaran puteri mahkota Kahuripan,
Sanggramawijaya menolak menjadi raja dan lebih memilih menjadi pertapa.
Hingga saat ini tidak pernah diketahui dengan pasti apakah alasan
penolakan dari Sanggramawijaya, walau rumor mengatakan bahwa alasan
sebenarnya adalah karena sang puteri mahkota telah mengidap penyakit kedi (kelainan
seksual; perempuan berlaku sebagai laki-laki ataupun sebaliknya).
Erlangga sendiri sebenarnya setelah kematian isterinya, sang puteri
Çriwijaya – tahun 1041, membangun Biara Pucangan lalu mengikuti jejak
anaknya tersebut dengan tinggal di biara tersebut.
Jenggala dan Panjalu
25
tahun kebesaran Erlangga segera surut. Sebelum wafatya, 1049, Erlangga
sempat membagi dua kerajaan menjadi Janggala di pesisir utara dan
Panjalu yang terletak di bagian pedalaman atau selatan.[6] Barang pasti
Janggala lebih maju karena pada saat itu kegiatan maritim juga tegah
menggeliat namun entah mengapa Janggala yang secara geografis lebih
besar justru mundur dan kekuasaannya kemudian jatuh berada di bawah
Panjalu.
Simbolon
(1995: 18-19) mengatakan sulit menafsirkan apa sebab-sebab sebenarnya
dari kemunduran Janggala ini. Apakah kemajuan perdagangan menyebabkan
rakyatnya apatis terhadap perkembangan kerajaan ataukah ada penguasa
dari lain daerah yang menguasai perdagangan maritim (misalkan kekuatan
dagang dari Dinasti Sung ataupun kekuatan Islam India). Lainnya adalah
kemungkinan bahwa pada masa itu perdagangan masih dikuasai oleh
pertanian. Namun perpecahan Janggala-Panjalu ini sempat berusaha
disatukan kembali dengan pernikahan Kamecwara I, Raja Panjalu dengan
Tjandra Kirana dari Jenggala. Ande-Ande Lumut, Topeng Panji dan Panji Klana.adalah bagian dari legenda kedua tokoh tersebut yang masih bertahan hingga hari ini.
Adapun
legitimasi bagi kedudukan Panjalu dinyatakan dalam lakon Baratayudha
yang dibuat oleh Mpu Sedah. Gubahan ini dibuat berdasar perintah dan
perlindungan Prabu Jayabaya (memerintah 1130-1160) sebagai raja
Kediri.[7] Mpu Sedah sendiri adalah lelaki yang menerima hukuman mati
dari Jayabaya dengan berdiri. Ia tidak menyelesaikan karyanya lantaran
Jayabaya mengetahui bahwa hati dan tubuh Parameçwarinya, Prabarini,
hanyalah untuk dirinya. Kisah ini bermula ketika Jayabaya memberikan
Prabarini sebagai gambaran Setyawati yang sangat sulit dilukiskan oleh
Sedah pada proses pembuatan Salyaparwa.
Baru kemudian diketahui jika Prabarini adalah stri dari Sedah yang
dirampas Jayabaya pada masa-masa sebelumnya. Usaha Sedah untuk masuk ke
Istana sendiri adalah bagian dari hasratnya untuk bertemu dengan isteri
tercinta.
Singasari
Setelah
Jayabaya, sejarah kembali gelap. Hanya dijelaskan bahwa pada satu masa
Kertajaya telah memerintah Kediri. Kertajaya adalah turunan kelima dari
Erlangga yang berkuasa di Kediri. Pada masa pemerintahannya Kertajaya
memanfaatkan hukum triwangsa Erlangga namun membuang segala aturan
mengenai pelarangan perbudakan hingga ‘Magna Charta Jawa’ tinggallah
kisah.
Namun
kekuasaan Kertajaya tak berlangsung lama. Kertajaya berhasil dijatuhkan
Ken Angrok pada Perang Ganter yang didukungan para pandita, termasuk
didalamnya Loh Gawe. Pada waktu itu para pandita membelot karena
Kertajaya mengharuskan para pandita untuk menyembah raja yang mengaku
diri sebagai titis Batara Guru. Rupanya pada waktu itu kebiasaan pandita
menyembah raja tidak didapati, yang terjadi adalah sebaliknya. Boleh
jadi masalah sebenarnya adalah terusan dari konflik kaum Çiwa dan Wishnu
semasa Erlangga dahulu.[8]
Yang
menarik adalah, pertentangan raja dan kaum pandita itu terjadi di waktu
yang sama dengan masa penolakan kebijakan Gereja oleh para Raja Eropa.
Kejadian itu berlangsung antara tahun 1212-1228 pada masa jabatan Paus
Innocentius III dan Paus Gregorius IX. Perselisihan terjadi antara lain
dengan Frederick II (anak raja Jerman, Henry VI dan ratu Sicilia,
Constance) yang menolak terlibat dalam Perang Salib. Menurut Simbolon
(1995: 390-391), untuk menentang kekuasan Gereja, konon Frederick II ini
menulis “De Tribus Impostoribus” atau “Tiga Pelagak Besar” (yakni
Musa, Jesus dan Muhammad). Sebagai akibatnya Frederick II dan beberapa
raja lainnya dipecat dari keanggotaan Gereja. Pada waktu itu para raja
akhirnya mengalah terhadap kekuasaan Gereja namun tak lama kemudian
kekuasaan Gereja merapuh dan rajalah yang kemudian berkuasa.
Mengenai
Angrok sendiri seperti diketahui ia adalah bekas penyamun dan berhasil
menduduki tampuk kekuasaan, menjadi raja sekaligus mendirikan Singasari
setelah membunuh Tunggu Ametung, pemimpin Tumampel, yang waktu itu
menjadi akuwu yang
tunduk bawah Kediri. Setelah membunuh Tunggul Ametung, Angrok menikahi
Ken Dedes, isteri Tunggul Ametung yang saat itu tengah hamil. Dengan
laku demikian dapat dipastikan kekuasaan Singasaripun bergulir secara
cepat dari satu tangan ke tangan lain. Sengketa antara keturunan
Angrok-Umang, Angrok-Dedes, Dedes-Tunggul Ametung terus terjadi dan hal
ini tidak lain adalah efek dari pembunuhan Angrok pada Ametung. Beberapa
mitos menyebutkan jika seteru terus terjadi juga lantaran ‘sabda’ Mpu
Gandring, seorang pembuat keris yang juga mati ditangan Angrok.[9]
Tewasnya
Mpu Gandring di tangan Angrok sendiri sebenarnya dapat dimengerti. Pada
masa itu banyak kekuatan yang berhasrat menurunkan Tunggul Ametung,
salah satunya adalah kekuatan Mpu Gandring yang didukung oleh klik
militer akuwu Tumampel. Maka setelah berhasil menekan Gandring untuk
mempersiapkan persenjataan bagi laskarnya, Angrok segera menghabisi
lawan politiknya itu. Selain kekuatan Angrok yang didukung para brahmana
Ciwa, Mpu Gandring yang dibantu militer, masih ada satu kubu lain yang
berusaha memainkan klik militer, yakni kekuatan milik ketua pandita
(Wishnu) awuku Tumampel yang merupakan wakil Kediri. Pramoedya menyebut
tokoh tersebut sebagai Belakangka.
Singasari
mulai kembali stabil setelah Jaya Wisnuwardhana bersama saudaranya
Mahesa Campa menguasai tampuk kepemimpinan. Dalam Nagarakartagama kedua
penguasa ini diibaratkan Wishnu dan Indra karena kerukunannya sementara
Pararaton menyebut mereka sebagai dua ular satu liang. Keadaan sedikit
tenang, tampuk kekuasaan pun diteruskan oleh Kertanegara, anak Jaya
Wisnuwardhana.
Berdirinya Majapahit
Sejarah
Kertanegara dan penggantinya, Raden Wijaya-pendiri Majapahit,
sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa Dharmawangça
maupun Erlangga.
Kertanegara
pernah melakukan ekspedisi yang sangat terkenal, yakni ekspedisi
militer disepanjang Jawa, Bali (1824) dan Sumatera (1275). Ekspedisi
kedua yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu tidak
seberhasil Ekspedisi Bali. Walau demikian Ekspedisi ini berhasil
menanamkan persatuan antara Singasari dan Melayu. Hal ini terbukti
dengan banyak piagam dan patung Budha yang ditinggalkan di sepanjang
Sungai Langsat, Jambi. Kertanegara sendiri tampaknya cukup puas dengan
bukti ‘kemenangan’ itu. Sebenarnya tujuan utama ekspedisi ini adalah
membuat Kerajaan Melayu yang pada waktu itu berkedudukan di Jambi
menjadi vasal Singasari. Namun demikian ekspedisi ini sendiri boleh
dikatakan tidak memiliki motif ekonomis karena pada saat itu kerajaan
bisa dipastikan tidak mencampuri urusan perniagaan.
Nama
Kertanegara sendiri cukup banyak disebut khususnya di Nagarakartagama
dan Pararaton. Hanya saja Pararaton cenderung menampilkan kekurangan
Kertanegara. Disana Kertanegara ditampilkan sebagai pemabuk bodoh yang
selalu menghabiskan waktu dengan makan dan minum sedangkan hal
sebaliknya ditampilkan oleh Nagarakertagama. Sosok Kertanegara justru
dianggap lebih ideal di banding pendahulu-pendahulunya. Adapun mengenai
proses pemutlakan kekuasaan Kertanegara, C.C. Berg (dalam Simbolon,
1995: 392) berpendapat bahwasanya proses tersebut bersifat damai dan
jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Hayam Wuruk ketika menyerang
Sadeng, Keta dan Bali. Adapun faktor dominan yang mendorong ekspedisi
Kertanegara itu di duga berasal dari hasrat unjuk gigi terutama untuk
mengcounter kekuatan Kubhilai Khan yang baru saja menduduki Tiongkok.
Seperti
diketahui, tahun 1206 Jenghis Khan mendirikan kerajaan yang terdiri
dari bangsa Mongol dan Turkestan. Setelah konsolidasi internal, Jenghis
Khan berusaha menaklukan Cina namun gagal. Usaha Jenghis diteruskan oleh
Ogotai, namun keberhasilan baru dicapai pada masa kepemimpinan Kubhilai
(cucu Jenghis). Tahun 1280, Kubhilai berhasil meruntuhkan Dinasti Sung
dan mendirikan Dinasti Yuan di Cina. Selanjutnya perluasan diarahkan ke
luar Cina yakni sepanjang Asia Timur dan Asia Selatan hingga akhirnya
sampai pula ke Nusantara, khususnya Singasari dibawah kepemimpinan
Kertanegara.
Keinginan
Kubhilai untuk memperluas wilayah kekuasaan diwujudkan dengan mengirim
duta, salah satunya ke Singasari. Kubhilai menuntut raja Singasari
datang menghadap ke Peking yang sayangnya selalu ditolak oleh
Kertanegara. Tahun 1289 Kubhilai kembali mengirim utusan. Merasa terus
didesak Kertanegarapun memenggal hidung Meng Ch’i, sang utusan sebagai
pernyataan ketidaksenangan atas tekanan Kubhlai. Menurut Wojowasito
(1954: 41) pada jaman itu telah dibuat semacam hukum internasional
terutama berkenaan dengan tugas duta, yakni larangan untuk membunuh duta
yang sedang menjalankan kewajiban. Adapun hukum yang dapat diberikan
kepada seorang duta hanyalah hukum dera, puluk (?) atau hukum yang hanya
membuat cacat. Walau demikian penderaan terhadap satu utusan sebenarnya
sama dengan melakukan penghinaan terdapap raja / kerajaan yang
mengutusnya sehingga penderaan memang banyak dihindari kecuali dalam
keadaan benar-benar terpaksa.
Sudah
pasti jika Kubhlai bereaksi keras menanggapi hal tersebut. Tahun 1292
Kubhilai segera mengirim tiga panglima: Shih-pi, Ike Mese dan Kau Hsing
bersama 20.000 ribu pasukan dan 1000 kapal untuk menghukum Kertanegara.
Namun pada saat yang bersamaan Kertanegara telah tewas oleh
pemberontakan Jayakatwang, seorang raja muda Kediri yang dibantu oleh
Wiraraja dari Madura.
Jatuhnya
Kertanegara pada waktu itu belum diketahui Khubilai Khan dan
pasukannya. Pasukan Jayakatwang sendiri diperkirakan menyerang dari dua
arah. Pasukan Singasari dipancing menuju utara dan dipertemukan dengan
pasukan yang lebih lemah dan seketika itu pasukan selatan yang jauh
lebih kuat masuk menyerang. Raden Wijaya menantu Kertanegara bersama
dengan Nambi, anak Wiraraja kebetulan memimpin pasukan utara, berhasil
menghalau pasukan utara. Namun demikian pasukan Raden Wijaya buyar
ketika mengetahui bahwa pasukan Kertanegara di Selatan berhasil
dihancurkan Jayakatwang. Raden Wijaya sendiri kemudian berhasil
menyelamatkan diri dan dibantu oleh Kades Kudadu di tepi Sungai Brantas.
Kades ini membantu Raden Wijaya berlayar menuju Madura untuk
selanjutnya meminta bantuan Wiraraja. Kesepakatan dibuat. Wiraraja
berbalik membantu Raden Wijaya dengan imbalan setengah wilayah
kekuasaan. Rencanapun disusun. Raden Wijaya kembali ke Jawa dan mengaku
tunduk pada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi tanah dilokasi yang
diminta, yakni perbatasan Kediri-Singasari. Ditanah itulah buah Maja
yang pahit kelak menjadi ‘patok’ bagi kerajaan baru yang akan didirikan
Raden Wijaya. Raden Wijaya sendiri di lokasi itu dibantu oleh
pekerja-pekerja dari Madura yang telah disusupkan.
Seperti
halnya Erlangga yang tertolong Raja Cola, kali ini Raden Wijayapun
tertolong dengan kedatangan pasukan Mongol. Dengan kecerdasannya membaca
situasi Raden Wijaya berhasil meyakinkan pasukan Mongol untuk
mempercayai bahwa Jayakatwang adalah pengganti Kertanegara dan dengan
begitu harus dihukum. Akhirnya Raden Wijaya dengan kekuatan Mongol
berhasil mengalahkan Jayakatwang. Raja tersebut akhirnya menyerah dan
kemudian menjadi tawanan perang. Setelah memastikan kemenangannya, Raden
Wijaya memukul balik pasukan Mongol. 3000 pasukan Mongol tewas, sisanya
melarikan diri dan sebagian takluk dan menjadi bagian dari dinasti baru
yang didirikan oleh Raden Wijaya. Antara kedatangan pasukan Mongol dan
keberhasilan Raden Wijaya hanya ada selisih waktu satu dua bulan saja.
Dapat dilihat betapa cermat perhitungan yang dilakukan Raden Wijaya.
Sementara itu untuk memperbaiki hubungan dengan Kubhilai Khan, Raden
Wijaya mengirim utusan ke Peking. Hal itu terjadi tahun 1297. Lepas
kepulangan utusan itu Raden Wijaya ditasbihkan menjadi raja Majapahit.
Gelarnya adalah Kertarajasa Jayawardhana. Dan dua minggu sekembalinya
utusan Mongol, Ekspedisi Pamalayu kembali sambil membawa beberapa puteri
Melayu. Mereka itu adalah Dara Petak dan Dara Jingga. Pada gilirannya,
Dara Jingga menikah dengan seorang bangsawan dan melahirkan
Adityawarman. Tokoh ini kelak memilih kembali ke tanah leluhur ibunya
dan menjadi Raja Melayu menggantikan Mauliawarmadewa. Adityawarman
sendiri pada puncak pemerintahannya tercatat beberapakali sempat
membantu Gadjah Mada, terutama pada penumpasan pemberontakan Sadeng.
Raden Wijaya sendiri kemudian menikahi Dara Petak yang kemudian akan
melahirkan penerusnya, Jayanagara.
Segera
setelah meduduki tampuk kekuasaan tahun 1309, Jayanegara harus
menghadapi pemberontakan. Yang pertama adalah pemberontakan Ranggalawe
yang mengambil titik koordinasi di Tuban, pemberontakan Sora, Nambi—yang
awalnya bersama Raden Wijaya turut mendirikan kerajaan—dan yang paling
dasyat adalah pemberontakan Kuti.[10] Pemberontakan ini sendiri lahir
karena ketidakpuasan para pejabat tinggi itu terhadap kebijakan yang
sebelumnya pernah dibuat oleh Raden Wijaya. Selain itu ada seorang
pejabat pemerintahan, Mahapati (pendahulu Gadjah Mada) yang kerap
mengadu domba dengan cara melemparkan fitnah. Gadjah Mada sendiri baru
mulai berperan ketika ia bersama pasukannya, Bhayangkara berusaha
menumpas pemberontakan Kuti. Pada waktu itu bahkan Jayanagara harus
keluar pergi – meninggalkan istana untuk menyelamatkan diri. Selama masa
persembunyiannya, Gadjah Madalah yang mengatur semua siasat
penyelamatan. Beberapa kebijakan yang ditetapkan Gadjah Mada sangat
keras, misalkan saja ia sempat membunuh beberapa pegawai yang meminta
cuti karena ia khawatir keselamatan raja menjadi terancam karenanya.
Namun setelah pemberontakan Kuti ini nagara dalam keadaan aman. Tidak
lagi ada ditemui pemberontakan kecuali satu insiden, yakni tragedi Tanca
yang akhirnya juga menjadi catatan penutup riwayat hidup Jayanagara.
Dalam
Paraton disebutkan bahwa Tanca melakukan aksi balas dendam kepada
Jayanagara lantaran Jayanagara diduga berhasrat untuk merebut isteri
Tanca. Kebetulan Tanca sendiri adalah seorang bangsawan dan tabib
istana. Tanca menjalankan aksinya ketika ia harus mengoperasi daging
tumbuh yang ada di tubuh Jayanagara. Tidak lama setelah kematian
Jayanagara, Gadjah Mada sendirilah yang langsung mengirim Tanca ke
penjara dan tak lama kemudian menghabisi hidup Tanca. Banyak spekulasi
mengenai kasus ini, misalkan saja dugaan bahwa sebenarnya Gadjah Mada
sendirilah yang melakukan intrik dan menggunakan Tanca sebagai badan
ganti. Dalam tradisi Bali, isteri Gadjah Madalah yang sebenarnya digauli
oleh Jayanagara.[11]
Jayanagara
sendiri wafat tanpa meninggalkan seorang putera mahkota, oleh karena
itu saudara perempuannya yang sulunglah, Ratu Kahuripan –
Tribhuwanattunggadewi yang menggantikannya, walau sebenarnya mandat
berada ditangan ibundanya, permaisuri yang paling dikasihi Raden Wijaya,
Gayatri atau lebih dikenal dengan Rajapatmi.
Hampir
selama dua puluh lamanya (1329-1350) pemerintahan ada di kedua tangan
perempuan ini. Seluruh putusan penting sepenuhnya berada di tangan
Rajapatni dan Tribhuwanattunggadewi menjalankannya atas nama. Mengenai
Rajaptmi sendiri, seperti diketahui umum, selain menikahi Dara Petak,
Raden Wijaya sekaligus menikahi keempat anak Kertarajasa. Tindakan ini
diduga merupakan langkah pengamanan untuk menjaga kelangsungan
dinastinya, karena bagaimanapun darah Kertarajasalah yang sesungguhnya
mengikat Raden Wijaya untuk tampil sebagai raja. Dengan demikian
kekuasaan memang ada pada keempat perempuan tersebut dan Raden Wijaya,
dapatlah dikatakan hanya berfungsi sebagai penyatu dan pelaksana tugas
istana. Salah satu isteri Raden Wijaya yang terkenal adalah Gayatri atau
Rajapatni, nenek dari Hayam Wuruk. Raden Wijaya sendiri sebelum
wafatnya, selain menobatkan Jayanagara yang waktu itu masih sangat belia
(15 tahun) sebagai raja juga sempat menempatkan masing-masing
puterinya, yakni Bhre Daha atau Radjadewi Maharajasa dan
Tribhuwanattunggadewi untuk berkuasa di Daha, Kediri dan
Jiwana-Kahuripan. Tidak ada pertentangan yang terjdi pada masa
kepemimpinan keduanya. Bhre Daha kemudian menikah dengan Wijayarajasa –
Raja Wengker sementara Tribhuwanattunggadewi menikah dengan
kertawardhana. Anak mereka inilah, Hayam Wuruk, yang kelak akan menjadi
penerus kerajaan.
Pada
masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi, Gadjah Mada yang sebelumnya
sempat menjadi Patih Kahuripan (1319-1321) dan Daha (1331) kemudian
menjadi Patih-Mangkubumi dibawah
perlindungan Arya Tadah, setelah sebelumnya berhasil memadamkan
pemberontakan Sadeng. Segera setelah pengangkatan tersebut, Gadjah Mada
mengucapkan sumpahnya yang terkenal, Sumpah Palapa di hadapan sidang paseban dan justru menjadi bahan tertawaan.[12] Kata-kata Gadjah Mada itu tercatat dalam Pararaton,
Sira
Gadjah Mada patih amungkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gadjah
Mada: ‘Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring
Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik samana iksun amukti palapa.’”
“Gadjah
Mada, Sang Maha Patih, berjanji tidak akan memakan buah palapa: ‘Agar
supaya Nusantara dapat dikuasai, agar Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura), dapat
dikuasai, maka hamba harus lebih dulu makan buah palapa.” (Pararaton)
Setelah
Rajapatni wafat (1350), Tribhuwanattunggadewi juga turut melepaskan
jabatan dan memberikannya kepada puteranya, Hayam Wuruk.
Prabu Hayam Wuruk berkuasa mulai tahun 1350-1389. Pada masa pemerintahannya Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Amukti Palapa yang
dianggap sebagai upaya pencapaian kekuasaan pun mendapatkan ruang
dibawah penguasaan mutlak Hayam Wuruk. Baik Hayam Wuruk maupun Gadjah
Mada berada dalam keterikatan untuk saling mendukung. Hal itu menurut
Simbolon (1995: 397-398) nampak pada penataan perangkat dan pendukung
kekuasaan negara macam birokrasi, angkatan bersenjata dan status masyarakat kalangan atas.
Arogansi
dari hasrat penguasaan itu sendiri pada gilirannya memukul balik Hayam
Wuruk. Tahun 1357 terjadi perang yang sangat terkenal dan terjadi di
daerah Bubat; Perang Bubat dan karenanya membuat Hayam Wuruk gagal menikahi Puteri Pasundan yang dicintainya.
Ringkas
cerita, Hayam Wuruk sedang mencari permaisuri untuk dinikahi. Kebetulan
pamannya, raja Daha dan Kahuripan memberi lukisan Puteri Sunda. Hayam
Wuruk demikian terpikat dan segera mengirim utusannya, Madhu. Utusan itu
kembali dengan membawa surat balasan mengenai kesediaan keluarga Sunda
tersebut. Tak lama kemudian bertolaklah seluruh anggota keluarga Kerjaan
Sunda disertai iring-iringan besar. Tercatat 2000 kapal berikut kapal
kecil mengiringin mereka. Setelah mendengar kedatangan keluarga Kerajaan
Pajajaran di Bubat, Hayam Wuruk berkehendak menghampiri untuk melakukan
penyambutan.
Namun
Gadjah Mada mengatakan bahwa hal itu tidak layak dilakukan seorang raja
besar kepada kerajan lain yang demikian. Gadjah Mada menyarankan agar
Hayam Wuruk tinggal diam menunggu kedatangan utusan maupun Raja
Pajajaran sendiri untuk datang menyembah. Padjajaran demi mendengar
kabar terakhir tersebut begitu marah karena menganggap bahwa Hayam Wuruk
telah ingkar dan karenanya mereka berniat kembali ke Pajajaran. Pada
waktu itu dikirimlah Patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Anepakěn
disertai tiga pejabat dan 300 serdadu. Mereka tiba di rumah Gadjah Mada
dan hampir terjadi pertumpahan darah disana karena masing-masing pihak
berkeras pada kemauannya. Raja Sunda sendiri kemudian mengatakan ia akan
menghadapi perkara tersebut sebagai seorang ksatria. Ia tidak rela
Pajajaran direndahkan dan dianggap sebagai bawahan Majapahit (Pajajaran
bukanlah vasal Majapahit dan menjadi salah satu kerajaan yang tidak
pernah tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Selain itu pada masa
sebelumnya kedua kerajaan itu juga tidak pernah berusaha untuk saling
menyerang satu sama lain). Perang tak terelakkan. Pasukan Sunda habis
oleh prajurit Majapahit, begitu pula dengan Raja maupun Patih Anepakěn.
Puteri Sunda, ibundanya dan semua isteri perwira Sunda kemudian pergi ke
medan perang dan melakukan bela pati – bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Dalam Kidung Sunda dan satu versi lainnya Kidung Sundayana atau Perjalanan (orang) Sundadikisahkan
menjadi betapa merananya Hayam Wuruk dan raja besar itupun mangkat. Tak
lama setelah itu Gadjah Mada yang dipersalahkan dan diburu karena kasus
tersebut segera melakukan yoga samadiuntuk moksha.
Walaupun nama Puteri Sunda tidak pernah disebutkan, namun bayak orang
beranggapan bahwa puteri tersebut adalah Dyah Pitaloka. Kisah ini
sendiri menjadi mitos yang terus hidup hingga hari ini dan dianggap
menjawab pertanyaan mengapa Orang Jawa tidak pernah (atau tidak dapat)
hidup harmonis dengan Orang Sunda. Antipati itu dapat pula terlihat dari
adanya anggapan di sebagian masyarakat bahwa tabu bagi seorang Jawa
menikah dengan seorang Sunda. Perasaan yang sama rupanya juga berkembang
di daerah Jawa Barat (Bandung kini). Di sana tidak didapati jalan raya
yang menggunakan nama Hayam Wuruk maupun Gajah Mada, berbeda halnya
dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Hayam
Wuruk kemudian mangkat pada 1389. Setelah itu kerajaan mulai redup.
Wikrawardhana, menantu Hayam Wuruk (yang menikah dengan Kusumawardhani)
segera menggantikannya. Namun di wilayah lain Bhre Wirabhumi, anak Hayam
Wuruk dari selir menguasai wilayah timur. Pertentangan segera terjadi. Perang Paregreg berlangsung
selama 5 tahun (1401-1406). Bhre Wirabhumi dapat dikalahkan dan
Wikrawardhana dapat bertahan hingga kematiannya, 1429.
Wikrawardhana
sendiri pada waktu mengalahkan Bhre Wirabhumi sempat mendapat hukuman
dari Raja Cina. Ia diwajibkan membayar R. 45000.000 sebagai ganti rugi,
yang kemudian dibayar Wikrawardhana walau tidak hingga lunas
(Wikrawardhana hanya membayar separuhnya). Hal ini terjadi karena
sebelumnya Bhre Wirabhumi sebelumnya sempat mengadakan hubungan dengan
kerajaan Cina. Sayangnya pada waktu itu wilayah seperti Kahuripan,
Jenggala-Tumampel, Singosari-Lasem, Daha-Kediri mulai berdiri mandiri
dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Setelah
kematian Wikrawardhana sejarah Majapahit mulai gelap. Beberapa raja
yang sempat berkuasa diantaranya adalah: Suhita (1429-1447), Kertawijaya
(1447-1451), Rajasawardhana (1451-1453), lalu kekuasaan kosong selama
tiga tahun lamanya dan kemudian diteruskan oleh Purwawicesa (1456-1466)
dan akhirnya Kertabhumi (1466-1478) sampai dengan digantikannya
Majapahit oleh Kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak Bintara.
Secara
umum, untuk menutup bagian ini, rekapitulasi kebudayaan Jawa pada abad
15 dan 16 dapat ditilik pada karya H. J. de Graff (2004: 179-195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar