Keramat
Solear yang merupakan hutan lindung seluas 4,5 hektar di Dusun Solear,
Desa Cikasungka, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang sekitar 16
kilometer dari Tigaraksa dikenal sebagai kawasan wisata yang dihuni
ratusan hewan kera. Di lokasi ini terdapat makam pengikut para wali
yakni makam Syekh Mas Mas’ad bin Hawa yang berada di bawah sebuah pohon
tua dikelilingi tembok dan pendopo.
Kawasan
tersebut menjadi wisata lokal yang masih sering dikunjungi. Pasalnya,
selain dapat berziarah, para wisatawan dapat melihat aktifitas ratusan
kera berkeliaran.
Ade,
juru kunci lokasi tersebut mengatakan, kawasan Keramat Solear sudah ada
sejak abad ke-16 tepatnya tahun 1552. Diceritakannya, sahabat para
wali yaitu Syekh Mas Mas’ad merupakan panglima tentara Islam yang
ditugaskan oleh Sultan Banten untuk menyebarkan agama di daerah
Tigaraksa. Ketika itu, Tigaraksa dikuasai oleh tokoh masyarakat bernama
Pangeran Jaya Perkasa alias Mas Laeng. Ia adalah patih dari Kerajaan
Pajajaran. Dalam pertempuran melawan Syeh Mas Mas’ad, Mas Laeng dibantu
oleh Ki Seteng. Pertempuran selalu berakhir imbang dan ketiganya
memutuskan untuk berdamai. Perdamaian tiga tokoh besar tersebut yang
menjadi asal-usul nama ‘Tigaraksa’ yang berarti tiga orang yang
memelihara perdamaian.
Keramat
Solear atau yang kerap kali disebut Keramat Tigaraksa karena tak
terlepas dalam sejarah, merupakan area yang ditumbuhi banyak pepohonan.
Makam Syekh Mas Mas’ad berada di bawah pohon besar yang konon merupakan
pohon paling tua di sana. Ade juga menyebutkan, terdapat sekitar 600
ekor kera yang menjadi 2 kelompok. Pada bulan Maulud, kedua kelompok
kera kerap kali berperang seakan-akan memperebutkan wilayah.
“Pernah
pihak desa mendapat uang Rp 100 juta lebih dari hasil penjualan tiket
masuk dan parkir. Setiap tahun peziarah dari berbagai daerah selalu
bertambah.” kata Ade kepada tangerangonline.id, Minggu (11/9/2016).
Uniknya, lanjut Ade, terkadang kera-kera akan menunjukan perilaku yang menjadikan cermin perilaku para pengunjung.
“Perilaku
kera liar tidak mengganggu peziarah dan hanya meminta makanan saja.
Kera tersebut juga memperlihatkan perilaku peziarah selama hidupnya.
Misalnya, kalau orang yang berkelakuan suka kawin, maka kera tersebut
melakukan kawin di hadapan orang tersebut. Jika orang itu memberikan
makanan dari uang yang tidak halal, maka kera itu tidak mau makan
makanan tersebut. Sudah banyak kejadian yang menarik dari Keramat Solear
ini,” jelasnya.
Pemkab
Tangerang pernah merehab Keramat Solear dengan menambah bangunan di
sekitar makam, namun menjadi malapetaka. “Pemborong yang mengerjakan
proyek itu akhirnya bangkrut. Pernah juga Pemda menanam ratusan pohon,
namun semua pohon tidak hidup. Hasil musyawarah para tokoh masyarakat
menyimpulkan, bahwa Keramat Solear tidak mau menerima pembangunan yang
menghilangkan keasliannya sehingga kondisinya seperti tidak diurus,”
ucap Ade.
Ade
menceritakan hal menarik lainnya dari Keramat Solear. Setiap perayaan
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia diadakan lomba panjat pinang bagi
para kera dengan hadiah makanan kesukaan mereka. “Mereka berlomba
seperti manusia, dengan memanjat pinang yang dilumuri cairan pelicin
untuk mendapatkan hadiah. Pastinya seru kalau melihatnya karena tidak
ada di daerah lain,” kata Ade.
Kembali
Ade menambahkan, kera di Keramat Solear mempunyai proteksi sendiri
secara alami. Misalnya, bila ada peziarah membawa salah satu kera, maka
orang tersebut akan sakit dan obatnya hanya dengan mengembalikan kera
yang dibawanya ke tempat semula.
“Di
sini, ada raja kera yang tidak terlihat oleh kasat mata. Pernah ada
penampakan saat ada shooting acara ‘Mencari Jejak Misteri’ di salah satu
stasiun TV. Raja kera itu muncul dengan wujud besar dan berwarna
putih,” tandasnya.
Keramat
Solear selain menjadi tempat untuk memanjatkan doa kepada para pengikut
wali, juga berpotensi menjadi objek wisata dan sumber pendapatan daerah
Kabupaten Tangerang bila dikelola dengan baik. (Yan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar