
"Alur Sejarah"
Prabu Siliwangi yang merupakan
maharaja Tatar Sunda, mempunyai beberapa anak dari "Permai Suri Kentring Manik Mayang Sunda" yang merupakan anak dari "Prabu Susuk Nunggal".
yaitu Sang Surawisesa" yang merupakan raja di Pakuan dan "Sang Surosowan" yang dijadikan adipati di pesisir Banten.
Sang Surosowan
mempunyai dua orang anak yaitu:
"Arya Suranggana" dan "Nyai Kawung Anten"
Pada masa itu Tahta wahanten girang telah di serakan kepada Prabu Arya Suranggana Sebagai "Pucuk umum" (Penguasa).
"SYARIF HIDAYATULLAH"
Disebutkan ketika Syarif Hidayattulah baru datang dari
Mesir Untuk Menyebarkan agama islam di Nusantara Dia singgah Menuju Cirebon untuk menemui Uwa-nya Yang bernama "Pangeran Cakra Buana" alias Raden "Walang Sungsang" yang juga putra Prabu Siliwangi yang mendirikan kadipaten Pakungwati.
Dalam penyebarannya,
Syarif Hidayatullah mengembara ke ujung barat pulau Jawa, ke daerah kulon, tempat pendekar-pendekar banyak tersebar. Di Pandeglang ada "Pangeran Pulosari" dan "Pangeran Aseupan", juga terdapat Raja Banten yang terkenal sangat sakti, bahkan Raden Kian Santang pun segan kepadanya, yaitu "Prabu Pucuk Umum" (Arya Suranggana) Raja Banten yang memiliki ilmu Lurus Bumi yang sangat sempurna, juga pukulan braja musti yang bisa menghancurkan gunung, bahkan menggetarkan bumi.
Rupanya Syarif Hidayatullah telah mengetahui kesaktian Prabu Pucuk Umun yang menguasai daerah itu. Untuk langsung mengajak Prabu Pucuk Umun masuk ke dalam Agama Islam sangat tidak mungkin, sebab Syarif Hidayatullah tahu Prabu Pucuk Umun mudah sekali murka, dan hal ini sangat berbahaya.
Dengan bersusah payah Syarif Hidayatullah menemui Pangeran Pulosari dan juga Pangeran Aseupan, yang merupakan sepupu dari Prabu Pucuk Umun, dan rupanya Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan sangat tertarik dengan ajaran agama yang di bawa oleh cucu Raja Pajajaran itu, dan keduanya menganut agama Islam.
Masuknya kedua pangeran itu ke dalam agama yang dibawa Syarif Hidayatullah terdengar juga oleh Prabu Pucuk Umun, dan hal ini membuatnya murka. Tiba-tiba langit menjadi gelap, halilintar bergelegar bersahutan. Pangeran Aseupan dan Pangeran Pulosari memahami bahwa kakak sepupunya telah mengetahui masuknya mereka kepada agama yang dibawa Syarif Hidayatullah.
Dengan ilmu Lurus Buminya, Prabu Pucuk Umun memburu kedua pangeran yang menurutnya berkhianat itu, dan terjadilah perkelahian yang sangat dahsyat. Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan berusaha mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan kakak sepupunya itu. Namun kesaktian luar biasa yang dimiliki Prabu Pucuk Umun membuat mereka lari, dengan luka yang diderita, akhirnya mereka pun berlindung di belakang Syarif Hidayatullah.
Prabu Pucuk Umun berteriak: “Hai cucu Siliwangi! Jangan kau ganggu tanahku dengan agamamu, jangan kau usik ketenangan rakyatku, enyahlah kau dari sini sebelum kau menyesal dan berdosa kepada kakekmu.”
Dengan tersenyum Syarif Hidayatullah menjawab: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan agama ini, karena agama ini bukan hanya untuk satu orang tapi untuk semua orang di dunia ini. Agama yang akan menyelamatkanmu.”
“Aku tidak menyukai basa-basimu anak lancang!” Teriak Prabu Pucuk Umun dengan lantang dan menggelegar, dan dari arah depan tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, tampak Syarif Hidayatullah mundur beberapa langkah, sedangkan Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan memasang kuda-kuda untuk menggempur serangan Prabu Pucuk Umun.
Pertarungan itu begitu dahsyatnya hingga Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang pun bersemedi memberikan energi kepada Syarif Hidayatullah.
Prabu Pucuk Umun merasakan panas yang teramat sangat, dia mengetahui bahwa serangannya telah berbalik arah kepadanya, dan dengan menggunakan Ilmu Lurus Bumi, Prabu Pucuk Umun melarikan diri,
Prabu Pucuk Umun memiliki Adik yang cantik dan juga memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan nya, bahkan lebih dari 1000 Jin takluk di bawah pengaruhnya, dan dia bernama "Ratu Kawunganten" Anak dari "Sang Surosowan, yang kemudian Jatuh hati Kepada Syarif Hidayatullah, dan
Ratu Kawunganten pun di peristri oleh syarif hidayatullah dan ikut dengan ajaran yang di bawa Syarif Hidayatullah, yaitu Islamm
Kemudian berganti nama menjadi "Siti Badariah"
Tidak berapa lama, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten pun hamil, dan Melahirkan Seorang Putra yg di beri Nama "Pangeran Sabakinking"
Nama itu Pemberian Sang kakek (Adipati Surosowan)
Dari alur darah ibu Pangeran Sabakinking adalah cicitnya Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi). Karena Sang Surosowan Adalah Putra "Prabu Siliwangi" dari Permai Suri Nyai "Kentring Manik" dan Dari alur darah ayah nya pun sama Maulana Hasanuddin sebagai cicit Sri Baduga Maharaja.
Sebab, Syarif Hidayatullah,
adalah putera Larasantang (Hajjah Syarifah Muda’im) puterinya Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi) dari permaisuri Subanglarang.
Berdasarkan silsilah keturunan, dari pihak ibu maupun pihak ayah, Hasanuddin memiliki alur darah yang kuat, sebagai salah seorang Pangeran calon pewaris tahta Kerajaan (Sunda) Pajajaran.
Setelah Menetap Sekian Lama di Wahanten, Akhirnya Syarif Hidayatullah Kembali ke Cirebon Karena Mendapat tugas dari Pangeran Cakra Buana untuk menggantikan Posisinya Sebagai Tahta Seorang Pemimpin di Cirebon.

"MAULANA HASANUDIN"
(Pangeran Sabakinking)
Pangeran Sabakingking beranjak dewasa, dan dia menjadi pemuda yang
gagah, pemuda yang keras, berani dan memiliki kesaktian yang luar biasa,
ilmu-ilmu kesaktian ibunya mengalir ke tubuhnya, lebih dari 1000 Jin
takluk atas perintahnya. Pangeran Sabakingking tak pernah merasa takut
kepada siapapun, dan hampir semua pendekar di tanah Banten pernah
berhadapan dengannya.
Suatu hari, Pangeran Sabakingking dipanggil ibunya, karena ia harus mengetahui siapa ayahnya, Sabakingking pun menghadap ibunya.“ "Anakku",,, kau sudah dewasa, dan sudah saatnya kau mengetahui siapa ayahmu. Ia berada di Cirebon dan telah menjadi Sultan di sana.
Jika kau ke sana berikan tasbih ini kepadanya, Tasbih inilah yang dulu menjadi mahar perkawinan ibu dengan ayahmu.
Maka Pergilah Pangeran Sabakingking menuju utara melewati hutan dan sungai, bukit gunung, untuk menuju tempat yang dituju.
Pangeran Sabankingking langsung menuju kesultanan Cirebon.
Di Kesultanan Cirebon itulah Pangeran Sabakingking melihat sebuah perbedaan yang mendasar,, Terdengar suara adzan, serta alunan al Quran yang asing baginya, namun begitu menyejukkan hatinya.
Tak berapa lama bertemulah Pangeran Sabakingking dengan seorang tua berjanggut panjang dengan mengenakan sorban.
Orang tua itu tampak berwibawa dan memiliki sorot mata yang tajam. “ Anak muda,,, ada keperluan apa kau ke sini? Tanya orang tua yang tak lain adalah Syarif Hidyayatullah itu.“
Aku ingin bertemu dengan "Syarif Hidayatullah" dan menyerahkan tasbih ini dari ibuku.” Tasbih itu pun diterima Syarif Hidayatullah sembari menerawangkan matanya. “ Apakah kau anak Kawunganten?” “ Benar! Aku Sabakingking Putra Kawunganten!”
“Akulah Syarif Hidayatullah yang kaucari anak muda. Namun aku tidak begitu saja mengakui kau sebagai anakku, sebab ada syarat yang harus kau laksanakan.” “Apa itu?” Buatlah sebuah bangunan masjid lengkap dengan menaranya di Banten. Tapi ingat, hanya 1 malam saja. Jika sampai muncul matahari dan perkerjaanmu belum selesai, jangan harap aku akan mengakui kau sebagai anakku.” Ujar Syarif Hidayatullah. “Baiklah! aku akan melaksanakan perintahmu.” Jika sudah selesai, kumandangkan adzan yang dapat kau dengar dari sini, di atas menaranya...
Ingat, hanya dalam waktu 1 malam saja!”
Setelah mendengar perintah ayahnya, Pangeran Sabakingking bergegas meninggalkan Cirebon untuk kembali ke Banten. Setelah sampai di Banten diceritakanlah semua yang dialami selama di Cirebon kepada ibunya. Ibunya Paham dan bersedia membantu anaknya. Dipanggilah lebih dari 1000 jin sakti untuk membantu Pangeran Sabakingking, dan tepat saat matahari terbenam mereka mulai membangun Pondasi Masjid di pesisir Banten. Semua bekerja dengan berbagai ilmu, lebih dari 1000 Jin dikerahkan, dan mendekati matahari terbit menara pun baru selesai. Saat itulah Pangeran Sabakingking menaiki menara dan mengumandangkan Adzan seperti apa yang ia dengar di Kesultanan Cirebon, dan dengan tenaga dalam yang nyaris sempurna, terdengarlah alunan adzan yang menggema hingga ke Kesultanan Cirebon.
Mendengar suara adzan yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, Syarif Hidayatullah pun keluar dari keraton Kesultanan Cirebon dan segera memperhatikan arah suara itu, yang tak salah lagi itu adalah suara anaknya.
Syarif Hidayatullah Memahami Bahwa itu adalah Suara Anak nya, Dan dengan ilmu Sancang, ilmu berlari cepat yang sulit diterima akal manusia, yang dimilikinya, hanya dalam waktu beberapa menit saja tibalah Syarif Hidayatullah di Mesjid yang dibangun anaknya tersebut.
Pangeran Sabakingking mengetahui Ada seseorang yang masuk ke Mesjidnya, dan dia bergegas menuju ke dalam, Alangkah kagetnya Pangeran Sabakingking saat ternyata dihadapannya adalah Syarif Hidayatullah, ayahnya. “ Anakku.. Kau telah membangun Mesjid ini dengan baik, Mesjid ini akan menjadi pusat penyebaran agama yang kubawa dan kau adalah pemimpinnya.
Mulai hari ini namamu adalah "Maulana Hasanudin"
Saat Maulana Hasnudin Melakukan Syhiar islam ke pelosok-pelosok Wahanten.
di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Wahanten Girang yang tak Lain adalah uwak nya,,
terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
Suatu hari, Pangeran Sabakingking dipanggil ibunya, karena ia harus mengetahui siapa ayahnya, Sabakingking pun menghadap ibunya.“ "Anakku",,, kau sudah dewasa, dan sudah saatnya kau mengetahui siapa ayahmu. Ia berada di Cirebon dan telah menjadi Sultan di sana.
Jika kau ke sana berikan tasbih ini kepadanya, Tasbih inilah yang dulu menjadi mahar perkawinan ibu dengan ayahmu.
Maka Pergilah Pangeran Sabakingking menuju utara melewati hutan dan sungai, bukit gunung, untuk menuju tempat yang dituju.
Pangeran Sabankingking langsung menuju kesultanan Cirebon.
Di Kesultanan Cirebon itulah Pangeran Sabakingking melihat sebuah perbedaan yang mendasar,, Terdengar suara adzan, serta alunan al Quran yang asing baginya, namun begitu menyejukkan hatinya.
Tak berapa lama bertemulah Pangeran Sabakingking dengan seorang tua berjanggut panjang dengan mengenakan sorban.
Orang tua itu tampak berwibawa dan memiliki sorot mata yang tajam. “ Anak muda,,, ada keperluan apa kau ke sini? Tanya orang tua yang tak lain adalah Syarif Hidyayatullah itu.“
Aku ingin bertemu dengan "Syarif Hidayatullah" dan menyerahkan tasbih ini dari ibuku.” Tasbih itu pun diterima Syarif Hidayatullah sembari menerawangkan matanya. “ Apakah kau anak Kawunganten?” “ Benar! Aku Sabakingking Putra Kawunganten!”
“Akulah Syarif Hidayatullah yang kaucari anak muda. Namun aku tidak begitu saja mengakui kau sebagai anakku, sebab ada syarat yang harus kau laksanakan.” “Apa itu?” Buatlah sebuah bangunan masjid lengkap dengan menaranya di Banten. Tapi ingat, hanya 1 malam saja. Jika sampai muncul matahari dan perkerjaanmu belum selesai, jangan harap aku akan mengakui kau sebagai anakku.” Ujar Syarif Hidayatullah. “Baiklah! aku akan melaksanakan perintahmu.” Jika sudah selesai, kumandangkan adzan yang dapat kau dengar dari sini, di atas menaranya...
Ingat, hanya dalam waktu 1 malam saja!”
Setelah mendengar perintah ayahnya, Pangeran Sabakingking bergegas meninggalkan Cirebon untuk kembali ke Banten. Setelah sampai di Banten diceritakanlah semua yang dialami selama di Cirebon kepada ibunya. Ibunya Paham dan bersedia membantu anaknya. Dipanggilah lebih dari 1000 jin sakti untuk membantu Pangeran Sabakingking, dan tepat saat matahari terbenam mereka mulai membangun Pondasi Masjid di pesisir Banten. Semua bekerja dengan berbagai ilmu, lebih dari 1000 Jin dikerahkan, dan mendekati matahari terbit menara pun baru selesai. Saat itulah Pangeran Sabakingking menaiki menara dan mengumandangkan Adzan seperti apa yang ia dengar di Kesultanan Cirebon, dan dengan tenaga dalam yang nyaris sempurna, terdengarlah alunan adzan yang menggema hingga ke Kesultanan Cirebon.
Mendengar suara adzan yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, Syarif Hidayatullah pun keluar dari keraton Kesultanan Cirebon dan segera memperhatikan arah suara itu, yang tak salah lagi itu adalah suara anaknya.
Syarif Hidayatullah Memahami Bahwa itu adalah Suara Anak nya, Dan dengan ilmu Sancang, ilmu berlari cepat yang sulit diterima akal manusia, yang dimilikinya, hanya dalam waktu beberapa menit saja tibalah Syarif Hidayatullah di Mesjid yang dibangun anaknya tersebut.
Pangeran Sabakingking mengetahui Ada seseorang yang masuk ke Mesjidnya, dan dia bergegas menuju ke dalam, Alangkah kagetnya Pangeran Sabakingking saat ternyata dihadapannya adalah Syarif Hidayatullah, ayahnya. “ Anakku.. Kau telah membangun Mesjid ini dengan baik, Mesjid ini akan menjadi pusat penyebaran agama yang kubawa dan kau adalah pemimpinnya.
Mulai hari ini namamu adalah "Maulana Hasanudin"
Saat Maulana Hasnudin Melakukan Syhiar islam ke pelosok-pelosok Wahanten.
di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Wahanten Girang yang tak Lain adalah uwak nya,,
terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, Sehingga
pucuk umum meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya,
Namun Maulana Hasanudin tida terpengaruh oleh perintah Pucuk Umum dan bertekad untuk menjalankan Amanah dari Ayah nya Karena Melihat Maulana Hasanudin tida Menghiraukan Apa yang di kehendaki nya maka Pucuk Umum Segera Mengambil tindakan.
Pucuk Umum Menantang Bertarung Kepada Maulana Hasanudin
Namun Arti Bertarung Yg di maksud Pucuk Umum bukanlah Bertarung Pisik, Karna Pucuk Umum Sendiri Sadar Bahwa yang Sedang dia hadapi adalah Keponakan nya sendiri.
Prabu Pucuk Umum menantang Maulana Hasanudin sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan oleh Pucuk Umum maka
Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya.
Prabu Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Pulosari karna di anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua Pihak pun beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk meramaikan dan menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain membawa senjata, karna untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun membawa Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun Syaikh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya, yakni Sunan Gunung Djati yang di warisi kepada Maulana Hasanuddin.
Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih.
Sebelum pertarungan dimulai,
Ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam.
Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh "Muhammad Saleh" Ia adalah murid Sunan Ampel yang tinggal di "Gunung Santri" di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.
Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan semangat kepada jagoannya masig-masing.
Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Para pendukung Pucuk Umun pun menjadi bungkam, dan Prabu Pucuk Umum mengakui kekalahannya.
-Pada tahun 1525 Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon,
ingin Melakukan Peluasan Wilayah Sampai ke Ujung Barat Pulau Jawa dan Meng Islamkan Seluruh Penduduk Nya.
Bersama Pasukan Kesultanan Cirebon Pasukan Demak tiba di Pesisir wahanten.
dan Dengan bantuan Maulana Hasanudin, Wahanten Girang dengan mudah bisa di taklukan.
Prabu Pucuk Umum Yg Sangat Berkukuh Teguh terhadap Kepercayaan yg di anut Nenek Moyang nya Sejak dulu,,
Yaitu "Sunda Wiwitan"
Lebih memilih Meninggalkan Wahanten Girang dari pada harus masuk islam.
Konon Prabu Pucuk umum Bersama Pengikut Setia nya Menetap Ke Pedalaman Selatan wahanten, dan Membuat Perkampungan baru di sana.
Yang kelak akan menjadi cikal bakal suku kanekes (Baduy).
Sementara wahanten Pesisir berhasil di taklukan oleh Fadillah khan (Menantu Syarif Hidayatullah) dan menyerahkan kekuasaan nya kepada Maulana Hasanudin sebagai tonggak ahli waris yang Sah.
Atas inisiatif Syarif Hidayatullah Maulana Hasanudin Menyatukan Wahanten girang dan Wahanten Pesisir Dengan nama Banten serta memindahkan roda pemerintahan ke sebelah utara dekat masjid yg dia bangun, di sana Maullana Hasanudin juga Mendirikan Sebuah keraton dengan nama "Keraton Surosowan"
Nama Surosowan di ambil untuk mengenang Mendiang kakek nya yaitu "Adipati Surosowan"
Di tangan Maulana Hasanudin Banten Berkembang Pesat dan Makmur.
Maullana Hasanudin Menikahi putri sultan trenggono III (Sultan Demak)
Yaitu "Ratu Ayu Kirana"
Salah satu seorang putranya Adalah
"Pangeran Pasarean" ( Maulana Yusuf)
Sepeninggal Syarif Hidayatullah dan Lengser nya Kesultanan Demak,
Maulana Hasanudin Memproklamarir kan bahwa Banten menjadi Kesultanan yg mandiri.
tidak lagi menjadi bawahan Demak dan Cirebon.
pucuk umum meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya,
Namun Maulana Hasanudin tida terpengaruh oleh perintah Pucuk Umum dan bertekad untuk menjalankan Amanah dari Ayah nya Karena Melihat Maulana Hasanudin tida Menghiraukan Apa yang di kehendaki nya maka Pucuk Umum Segera Mengambil tindakan.
Pucuk Umum Menantang Bertarung Kepada Maulana Hasanudin
Namun Arti Bertarung Yg di maksud Pucuk Umum bukanlah Bertarung Pisik, Karna Pucuk Umum Sendiri Sadar Bahwa yang Sedang dia hadapi adalah Keponakan nya sendiri.
Prabu Pucuk Umum menantang Maulana Hasanudin sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan oleh Pucuk Umum maka
Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya.
Prabu Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Pulosari karna di anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua Pihak pun beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk meramaikan dan menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain membawa senjata, karna untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun membawa Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun Syaikh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya, yakni Sunan Gunung Djati yang di warisi kepada Maulana Hasanuddin.
Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih.
Sebelum pertarungan dimulai,
Ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam.
Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh "Muhammad Saleh" Ia adalah murid Sunan Ampel yang tinggal di "Gunung Santri" di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.
Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan semangat kepada jagoannya masig-masing.
Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Para pendukung Pucuk Umun pun menjadi bungkam, dan Prabu Pucuk Umum mengakui kekalahannya.
-Pada tahun 1525 Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon,
ingin Melakukan Peluasan Wilayah Sampai ke Ujung Barat Pulau Jawa dan Meng Islamkan Seluruh Penduduk Nya.
Bersama Pasukan Kesultanan Cirebon Pasukan Demak tiba di Pesisir wahanten.
dan Dengan bantuan Maulana Hasanudin, Wahanten Girang dengan mudah bisa di taklukan.
Prabu Pucuk Umum Yg Sangat Berkukuh Teguh terhadap Kepercayaan yg di anut Nenek Moyang nya Sejak dulu,,
Yaitu "Sunda Wiwitan"
Lebih memilih Meninggalkan Wahanten Girang dari pada harus masuk islam.
Konon Prabu Pucuk umum Bersama Pengikut Setia nya Menetap Ke Pedalaman Selatan wahanten, dan Membuat Perkampungan baru di sana.
Yang kelak akan menjadi cikal bakal suku kanekes (Baduy).
Sementara wahanten Pesisir berhasil di taklukan oleh Fadillah khan (Menantu Syarif Hidayatullah) dan menyerahkan kekuasaan nya kepada Maulana Hasanudin sebagai tonggak ahli waris yang Sah.
Atas inisiatif Syarif Hidayatullah Maulana Hasanudin Menyatukan Wahanten girang dan Wahanten Pesisir Dengan nama Banten serta memindahkan roda pemerintahan ke sebelah utara dekat masjid yg dia bangun, di sana Maullana Hasanudin juga Mendirikan Sebuah keraton dengan nama "Keraton Surosowan"
Nama Surosowan di ambil untuk mengenang Mendiang kakek nya yaitu "Adipati Surosowan"
Di tangan Maulana Hasanudin Banten Berkembang Pesat dan Makmur.
Maullana Hasanudin Menikahi putri sultan trenggono III (Sultan Demak)
Yaitu "Ratu Ayu Kirana"
Salah satu seorang putranya Adalah
"Pangeran Pasarean" ( Maulana Yusuf)
Sepeninggal Syarif Hidayatullah dan Lengser nya Kesultanan Demak,
Maulana Hasanudin Memproklamarir kan bahwa Banten menjadi Kesultanan yg mandiri.
tidak lagi menjadi bawahan Demak dan Cirebon.

"MAULANA YUSUF"
(Panembahan Pakalangan Gede)
Pada tahun 1570 Maulana Hasanudin wafat, dan tahta kesultanan banten di wariskan kepada putra nya yaitu "Pangeran Pasarean" atau "Sultan Maulana Yusuf" Sebagai Sultan Banten ke II.
pada 1579 Masehi, Maulana Yusuf
Dan para Balad tentara nya melakukan penyerangan terhadap kerajaan pakuan (Padjajaran)
Padjajaran berhasil di taklukan oleh Maulana Yusuf ,
ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan demikian.
Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf mengklaim merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja
Sementara Lampung dan Jambi yg saat itu berada di bawah kekuasaan padjajaran resmi menjadi daerah kekuasaan Banten.
Pada masa Pemerintahannya pembangunan di titik beratkan pada pembangunan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Desa Pakalangan Gede, dekat kampung Kasunyatan sekarang,
Dan Bergelar "Pangeran Panembahan Pakalangan Gede"

"MAULANA MUHAMAD"
(Kanjeng Ratu Ing Banten)
Sultan Banten III
Sepeninggal Maulana Yusuf, pemerintahan Banten di pegang oleh Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten ke III .
Maulana Muhammad bergelar
"Kanjeng Ratu Ing Banten"
Peristiwa yang menonjol pada masa pemerintahan Maulana Muhammad adalah peristiwa penyerbuan ke Palembang. Kejadian ini bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin menjadi raja di Palembang,
Pangeran Mas adalah putra dari Aria Pangiri, dan Aria Pangiri adalah putra dari Sunan Prawoto (Raja Demak).
Maulana Muhammad Yang Bertekad untuk memakmurkan Banten dan mengembangkan Islam ke seluruh Nusantara, Terhasut oleh Perkataan Pangeran Mas.
Dikatakan bahwa Palembang dulunya adalah daerah kekuasaan ayahnya sewaktu menjadi sultan Demak, kemudian membangkang dan melepaskan diri, Disamping itu dikatakan bahwa sebagian besar rakyatnya masih kafir, sehingga perlulah Banten menyerang ke sana untuk menyebarkan agama Islam. Kalaulah Palembang dapat dijadikan daerah taklukan Banten, maka hasil ladanya dapat digunakan untuk kemakmuran Kesultanan Banten.
Maka Berangkatlah Armada dan Ribuan Para Prajurit Banten, Menuju Palembang.
Dalam Penyerbuan Sebenar nya Banten telah unggul, Pihak Kerajaan dari Palembang Sudah terdesak Mundur.
Namun Naas,, Sang Sultan Muda Gugur tertembak.
Sehingga Para Senopati Kerajaan Banten Memilih untuk tidak Meneruskan Pertempuran, dan kembali ke Banten.
Kala itu Banten Sangat Berduka, Karena Harus kehilangan Raja nya, yang gugur di Medan Perang.
Beliau mempunyai Seorang putra yang bernama Pangeran "AbdulMufakhir" yang baru berusia 9 tahun dari permaisuri bernama Ratu Wanagiri puteri Mangkubumi Jayanagara,
"ABDUL MUFFAKHIR"
Yang selanjutnya Abdullmafakhir diangkat sebagai pengganti ayahnya, melanjutkan tahta Kesultanan Banten. Sultan yang masih bayi itu, didampingi oleh kakeknya, sebagai Wakil Kesultanan.
Akan tetapi, pada tahun 1602, Mangkubumi Jaya negara meninggal dunia.
Selanjutnya tugas perwakilan Kesultanan dan jabatan Mangkubumi, dipegang oleh Pangeran Arya Ranamanggala (Paman dari Abdullmufakir).
Baru setelah tanggal 13 Mei 1626,
kala Pangeran Arya Ranamanggala meninggal, kekuasaan sepenuhnya diserahkan kepada Sultan Abulmafakhir.
Dilantik pada usia 14 tahun tidak mempengaruhi kedewasaannya dalam memerintah Kesultanan Banten,
Hal ini dibuktikan Dengan melalui kebijakan-kebijakannya yang tidak lagi terbatas pada perdagangan maupun perluasan wilayah saja, namun mulai membuat Banten Menjadi Kerajaan yang patut di perhitungkan di kawasan asia.
Sebagaimana ayah dan kakek buyutnya, Sultan Abulmafakhir pun seorang ulama yang saleh, Beliau banyak menyusun kitab-kitab ilmu agama Islam, diantaranya Insan Kamil. Sultan Abulmafakhir, adalah penguasa Kesultanan Banten pertama yang dikukuhkan oleh Syekh Mekah, dan mendapat gelar "Sultan Abulmafakhir Muhamad AbdulQhodir". Gelar ini diperolehnya ketika ia mengutus putera mahkota dan beberapa pembesar negara, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Begitu pula dengan putera mahkotanya, mendapat gelar "Sultan Abulma'ali Ahmad Kenari"
Pada tahun 1640, putera mahkota, Abulma'ali, diangkat menjadi Sultan Anom.
Akan tetapi, baru sepuluh tahun Memerintah, tepatnya tahun 1650, Sultan Anom meninggal dalam usia muda, mendahului ayahnya.
Maka kedudukan Sultan Anom diserahkan kepada "Pangeran Surya" Tahun itu juga.
Pangeran Surya adalah cucu Sultan Abulmafakhir dan putera Sultan Anom Abdullma'ali dari permaisuri Ratu Martakusuma.
Sultan Abulmafakhir meninggal dunia, pada tahun 1651 Tahta Kesultanan Banten dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya Yg selanjutnya Bergelar Dengan Nama "Sultan Ageng Tirtayasa".

"SULTAN AGENG TIRTAYASA"
(Masa Kedigjayaan Banten)
Masa Sultan Ageng Tirtayasa bertahta (1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.
Di bawah Kepemimpinan nya, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas dasar contoh
Eropa , serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja Untuk Kesultanan
Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga Menaklukan
Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) Dengan Armada Laut nya Pada tahun 1661.
Pada masa itu Banten adalah wilayah perdagangan maritim yang sangat
maju. Dengan majunya kota Surosowan, menjadikannya kota pelabuhan
terbesar di Pulau Jawa. Ramainya kota baru ini membuat di berlakukannya
sistem penataan dan penempatan penduduk berdasarkan keahlian dan asal
daerah penduduk. Penataan ini selain bertujuan untuk kerapian dan
keserasian kota juga untuk kepentingan keamanan, sekaligus upaya
penyebaran penduduk untuk memperluas kota.
Dengan Semakin Maju nya Banten, Sultan Ageng Membuat Keraton Baru di daerah Tirtayasa, Serang.
Di Sana Rakyat Menyebutnya Dengan Gelar "Sultan Ageng Tirtayasa"
"Perang Saudara"
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat
perebutan kekuasaan dan Pemberontakan "Putra Mahkota", Yaitu
"Sultan Abu Nasher Abdull Qahar" atau "Sultan Haji" Ketika Sultan Haji
Berada di Mekah Untuk Belajar ilmu Agama, Kekuasaan Kerajaan di Serahkan
Kepada adik Sultan Haji, yang bernama "Pangeran Purbaya"
Sepulangnya Ke tanah Banten,
Sultan Haji Merasa Kecewa Kepada Sang Ayah, Karena telah Memberi Kekuasaan yang lebih Kepada "Pangeran Purbaya"
Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Untuk Mengadu Domba Antara Sultan Haji dan Sultan Ageng ,
VOC Dengan akal Busuk nya Mulai Melakukan Pendekatan Kepada Sultan Haji.
Hubungan Sultan Haji dengan kompeni Belanda sudah sedemikian dekatnya
sehingga dalam pasukan pertahanan Surosowan pun ditempatkan satu barisan
pasukan kompeni sebagai pasukan tambahan, yang pada hakekatnya mereka
adalah mata-mata yang ditanam kompeni di Banten. Memang inilah yang
dituju kompeni, Sultan Haji sudah terbiasa dengan segala yang berbau
Belanda.
Ia lebih percaya kepada kata-kata kompeni dari pada petuah-petuah
ayahnya. Karena hasutan kompeni ini pulalah maka hubungan Sultan Haji
dengan ayahnya semakin renggang, bahkan kedua sultan ini saling curiga
mencurigai. Sehingga pada diri Sultan Haji tumbuh keinginan yang kuat
untuk segera memegang kekuasaan penuh di Kesultanan Banten, tanpa adanya
campur tangan dari ayahnya.
Keadaan ini dijadikan senjata oleh kompeni mendorong Sultan Haji untuk segera memperoleh kuasa penuh di Banten.
Satu hal lagi yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa, adalah surat
ucapan selamat yang dikirimkan Sultan Haji atas diangkatnya Speelman
menjadi Gubernur Jendral VOC menggantikan Rijklof van Goens pada tanggal
25 November 1680, padahal saat itu kompeni baru saja menghancurkan
pasukan gerilya Banten di Cirebon yang kemudian dapat menguasai Cirebon
seluruhnya.
Melihat keadaan anaknya yang sudah sedemikian keadaannya, Sultan Ageng
Tirtayasa memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan
sewaktu-waktu.
Rakyat dari daerah Tanahara, Pontang, Tirtayasa, Caringin, Carita dan
sebagainya banyak yang mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit.
Demikian juga tentara pelarian dari Makasar, Jawa Timur, Lampung,
Solebar, Bengkulu dan Cirebon bergabung dengan pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa. Sultan sudah tidak peduli lagi dengan tentara dan bangsawan
yang berpihak kepada Sultan Haji yang dianggap berpindah adat dan
berbeda haluan.
Dalam suasana yang sudah demikian panas, Sultan Ageng mendengar kabar
bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan kompeni
kerena dianggap kapal perampok.
Tuntutan Sultan supaya mereka dibebaskan Kapalnya,
tidak dihiraukan oleh kompeni.
Hal ini membuat kemarahan Sultan menjadi-jadi.
Rasa harga dirinya sebagai Sultan dari suatu negara merdeka terasa diremehkan.
Maka diumumkannya bahwa Banten dan kompeni Belanda dalam situasi perang.
Pernyataan perang Sultan Ageng Tirtayasa kepada kompeni ini ditentang oleh Sultan Haji.
Sultan Haji menyatakan bahwa keputusan itu terlalu ceroboh, dan tidak
dimusyawarahkan dahulu dengannya, maka keputusan itu tidak syah.
dengan bermodalkan bantuan pasukan kompeni, yang dijanjikan kepadanya,
Sultan Haji memak-zul kan Bahwa Sultan Ageng Tirtayasa sudah terlalu tua
dan sudah mulai pikun,, sehingga mulai saat ini kekuasaan Banten
seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.
Melihat tingkah laku anaknya yang sudah keterlaluan ini, habislah sudah
kesabaran Sultan Ageng Tirtayasa. Musuh besarnya adalah kompeni Belanda,
tapi untuk menggem-purnya harus ada kesatuan dari semua rakyat Banten.
Oleh karenanya sebelum menyerang Batavia, terlebih dahulu harus menyatukan Banten,
Sultan Ageng bukanlah akan berperang dengan anaknya, tetapi yang diperangi adalah antek penjajah.
Pada tanggal 26 malam 27 Pebuari 1682, dengan dipimpin sendiri oleh
Sultan Ageng Tirtayasa, mulailah diadakan penyerbuan mendadak ke
Surosowan, yang berhasil mematahkan perlawanan Surosowan, sehingga dalam
waktu singkat, pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana Surosowan.
Sultan Haji melarikan diri dan minta perlindungan kepada Jacob de Roy,
Keadaan ini segera dapat diketahui Batavia, maka pada tanggal 6 Maret
1682 dipimpin oleh Saint Martin kompeni mengirimkan dua kapal perang
lengkap pasukan tempurnya. Pasukan ini tidak segera dapat mendarat di
pelabuhan Banten, karena hebatnya perlawanan pasukan Banten. Kapten
Saint Martin segera mengirim utusan ke Batavia agar kompeni mengirimkan
pasukan darat yang lebih banyak lagi.
Setelah mempelajari keadaan medan perang, kompeni segera mengirim
pasukan bantuan dari darat dan laut. Penyerangan dari laut dipimpin oleh
Kapten Francois Tack yang, nanti bersama-sama dengan pasukan Saint
Martin mengadakan serangan di depan pelabuhan Banten.
Sedangkan pasukan darat dipimpin Kapten Hartsinck, berkekuatan 1000 orang, mengadakan penyerangan dari arah Tangerang.
nanti dalam serbuan ke Tirtayasa, pasukan ini bergabung dengan pasukan
laut, sehingga Tirtayasa diserang dari dua arah, demikian taktik
kompeni.
Melalui pertempuran yang banyak memakan korban, akhirnya pasukan Kapten
Tack dan Saint Martin dapat menguasai Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa
dan pasukannya mundur ke arah barat sungai Ciujung. Pertempuran ini
berlangsung terus menerus sampai akhirnya pasukan Sultan Ageng hanya
dapat bertahan di benteng Kedemangan.
pada Saat itu, pasukan Banten di Tangerang berusaha menahan serangan
pasukan Kapten Hartsink. Di sebelah timur Sungai Cisadane, kompeni hanya
dapat bertahan di bentengnya saja, sedangkan benteng di sebelah
baratnya, pada tanggal 30 Maret 1682, sudah dapat dikuasai pasukan
Banten yang dipimpin Pangeran Dipati.
Tapi setelah melalui pertempuran yang lama, pada tanggal 8 Desember 1682
kubu pertahanan Banten di Tangerang dapat dikuasai kompeni. Benteng di
Kedemangan pun akhirnya dapat dihancurkan pasukan Kapten Tack pada
tanggal 2 Desember 1682.
Dengan demikian ruang gerak prajurit Sultan Ageng Tirtayasa semakin kecil.
Disebelah barat pasukan kompeni yang dibantu pasukan Sultan Haji
menguasai sampai Kademangan, sedangkan dari arah timur pasukan Kapten
Hartsinck sudah sampai di perbatasan daerah Tanahara. Sehingga daerah
induk yang masih dikuasai Sultan Ageng hanyalah Tanahara, Tirtayasa dan
Kademangan saja.
Untuk mempertahankan Tirtayasa, benteng di Kademangan dan Tanahara
merupakan kubu pertahanan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang terkuat.
Di Tanahara, Sultan Ageng menempatkan pasukan darat yang dipusatkan di
benteng Tanahara, dan juga pasukan lautnya di Pulau Cangkir.
Karena kuatnya pertahanan di Tanahara ini, maka kompeni menambah lagi
pasukan tempurnya dari Batavia dipimpin Kapten Jonker. Setelah
mengerahkan pasukan penyerang dari darat dan laut, barulah pada tanggal
28-29 Desember 1682 Tanahara pun dapat direbut kompeni.
Dalam usaha untuk menguasai daerah Tirtayasa, kompeni melakukan
penyerangan serentak dari dua jurusan: pasukan Kapten Tack dan Sultan
Haji menyerang dari Pontang, sedangkan pasukan Hartsinck dan Kapten
Jonker menyerang dari Tanahara. Seluruh barisan pertahanan Sultan Ageng
dikerahkan untuk melawan kekuatan kompeni ini.
Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, Syekh Yusuf dan seluruh pembesar negeri
semuanya turut berperang memimpin pasukan. Pertempuran berlangsung
hebat, tapi akhirnya pasukan Sultan Ageng sedikit demi sedikit dapat
dipukul mundur.
Karena Sultan memperkirakan bahwa pasukannya tidak akan mampu
mempertahankan Tirtayasa lebih lama lagi, maka diperintahkan pasukannya
untuk segera mengundurkan diri, meninggalkan Tirtayasa dan mundur ke
arah selatan yaitu hutan Keranggan.
Tapi sebelumnya Sultan memerintahkan supaya istana dan bangunan lainnya
dibakar. Sultan tidak rela bangunan-bangunannya itu diinjak oleh dan di
Manfaatkan oleh orang kompeni.
Memang, akhirnya kompeni dan Sultan Haji dapat menduduki Tirtayasa,
tetapi di sana mereka hanya mendapati puing-puing bekas istana saja,
bahkan penduduknya pun banyak yang ikut Sultannya ke hutan.
Dari hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan seluruh pasukannya
melanjutkan perjalanan ke Lebak. Satu tahun mereka melakukan perang
gerilya dari sana. Tapi akhirnya, Lebak pun dapat dikepung pasukan
kompeni, sehingga pasukan Sultan Ageng terpecah menjadi dua bagian:
Pangeran Purbaya dan sejumlah tentaranya bergerak ke sekitar Parijan, di
pedalaman Tangerang. Sedangkan Sultan Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran
Kulon, Syekh Yusuf beserta sisa pasukannya bergerak ke daerah Sajira, di
perbatasan Bogor.
Sultan Haji berusaha keras agar ayahnya dapat kembali ke Surosowan.
Dengan petunjuk serta nasehat kompeni, yang ingin melakukan tipu daya
halus, maka Sultan Haji mengirimkan surat kepada Sultan Ageng Tirtayasa
di Sajira.
Surat itu berisikan ajakan Sultan Haji supaya ayahnya kembali ke
Surosowan dan hidup bersama dengan damai, di samping itu dapatlah
dirundingkan kedudukan prajurit dan rakyat Banten yang mendukung
perjuangan Sultan Ageng.
Tanpa perasaan curiga sedikit pun, Sultan yang kala itu usianya sudah
lanjut, (ditambah pula kesedihan atas gugurnya Pangeran Kulon pada
tanggal 7 Maret 1683) maka pada tanggal 14 Maret 1683 tengah malam,
Sultan Ageng datang ke Surosowan setelah lama bertahan di hutan.
Sultan Ageng Tirtayasa dengan beberapa pengawalnya sampailah di
Surosowan dan langsung menemui putranya yang telah menantikan kedatangan
sang ayah.
Penerimaan Sultan Haji sangat baik meski pun di belakangnya telah ada
maksud tertentu atas bujukan kompeni. Tetapi setelah beberapa saa
tinggal di istana Surosowan,, Sultan Ageng ditangkap oleh kompeni dan
segera dibawa ke Batavia.
Memang itulah maksud dan tipudaya kompeni atas kerja sama dengan Sultan Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalam penjara berbenteng di Batavia dengan penjagaan ketat serdadu kompeni,,
Hingga meninggalnya di penjara pada tahun 1692. Jenazahnya oleh Sultan
Abdulmahasin Zainul Abidin, anaknya Sultan Haji, yang amat mencintainya
dimintakan kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda untuk dikirim
kembali ke Banten.
Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat mengesankan ia dimakamkan di
samping sultan-sultan pendahulunya, di sebelah utara Masjid Agung
Banten Lama.
"Penurunan"
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan
memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada
VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint
Martin, kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu
kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang
membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain
itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti
mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada pihak VOC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar