Satu
abad lebih telah berlalu, tepatnya 129 tahun. Kota Cilegon menyimpan
sebuah kisah tentang perlawanan dari kaum tani. Pemberontakan tersebut
disinyalir sebagai salah satu pemberontakan kedua yang terjadi di Hindia
Belanda setelah peristiwa pemberontakan kaum tani di Ciomas, Bogor,
tahun 1886.
Peristiwa Geger Cilegon disebut-sebut salah satu pemberontakan tani
terbesar setelah pembubaran Kesultanan Banten 1813 oleh VOC dan sebelum
Pemberontakan Kaum Tani 1926 di Anyer (yang diperuntukan untuk
kemerdekaan). Geger Cilegon dipelopori oleh seorang tokoh agama yang
bernama Haji Wasyid atau biasa disebut Ki Wasyid. Pemberontakan tersebut
bermula dari kesewenang-wenangan pihak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang mengokupasi Banten sebagai salah satu wilayah taklukan/jajahan.
Sebagai salah seorang agamawan, Ki Wasyid sering memberikan fatwa dan
mengingatkan warga Cilegon saat itu bahwa “meminta selain kepada Allah
termasuk syirik.” Namun fatwanya kurang diindahkan. Karenanya, pada
suatu malam, Ki Wasyid dan muridnya menebang pohong yang disebut
berhala. Inilah yang menyebabkan Ki Wasyid diseret ke pengadilan
kolonial pada 1887.
Saat itu, kondisi makin diperburuk akibat meletusnya Gunung Krakatau
di Selat Sunda pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan tersebut
menyebabkan gelombang laut yang meluluhlatakkan Anyer, Caringin, Sirih,
Pasuruan, Tajur, dan Carita. Selain itu, ada bencana kelaparan, penyakit
pes, dan penyakit hewan ternak.
Fenomena tersebut berlangsung selama lima tahun. Peristiwa yang
terjadi juga disebut-sebut sebagai salah satu pelatuk pada Ki Wasyid
untuk melakukan perlawanan terhadap kependudukan VOC.
Pemberontakan 1888 terjadi juga disebabkan oleh pejabat – pejabat
pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan sirkuler (surat edaran)
kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa
lainnya dengan suara keras di masjid. Pemerintah kolonial juga
menghancurkan menara masjid Cilegon dengan alasan telah terlalu tua.
Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak
dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu
mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu.
“Sejak peristiwa tersebut, kehidupan masyarakat Banten pun meningkat
dalam segi keagamaan. Disamping itu, agama jadi alat pembebasan. Karena
melalui agama, Ki Wasyid mengorganisir masyarakat dengan dakwah,” ungkap
Budi Satyana, salah seorang budayawan di Banten.
Dimulainya Pemberontakan
Pemberontakan bermula pada tanggal 9 Juli 1888, dini hari.
Pemberontak berjumlah 100 orang dan seluruhnya bergerak dari tempat Haji
Ishak di Saneja untuk menyerang rumah residen Francois Dumas, selaku
juru tulis di kantor asisten residen VOC. Akan tetapi Dumas melarikan
diri dan terpisah dari anak beserta istrinya. Dumas bersembunyi dirumah
tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Sedangkan anak beserta
istrinya bersembunyi dirumah seorang ajun kolektor.
Saat itu, para pemberontak bertitik temu di Pasar Jombang Wetan,
Cilegon. Selaku pemimpin, Ki Wasyid membagi pasukan menjadi 3 kelompok.
Pertama, pasukan dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan.
Kedua,pasukan dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan
dipimpin oleh Haji Tb. Ismail. Fokus penyerangan saat itu adalah
pembebasan tahanan politik, kepatihan, dan rumah asisten residen yang
berletak di alun-alun Kota Cilegon.
Puncak Penyerangan
Saat itu, Haji Tb. Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang sedang
bersembunyi dirumah seorang Tionghoa yang bernama Tan Heng Kok.
Akhirnya, Alfred Dumas terluka dan dilarikan ke kepatihan oleh ajun
kolektor. Saat itu Dumas menjadi korban pertama di tangan pemberontakan
pasukan Haji Tb. Ismail. Begitu juga anak laki-lakinya dan istrinya.
Pembantu Dumas, Minah, dan anak bungsunya ditemukan ditengah sawah dalam
keadaaan luka parah.
Para pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Haji Usman menyerang
Ulrich Bachet, kepala penjualan garam. Bachet akhirnya bersembunyi pada
salah satu rumah penduduk yang berletak dibelakang rumahnya. Bachet
sempat melepaskan tembakan dari bedil miliknya yang menewaskan 2 orang
pemberontak. Namun, akhirnya Bachet dibunuh oleh pasukan Haji Usman.
Sebagian pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim berhasil
membebaskan 20 tahanan. Pembebasan tersebut berhasil membunuh seorang
sipir yang bernama Mas Kramadimeja. Namun, Istri Gubbels, Anna Elizabeth
van Zutphen, wedana, dan kepala penjara, berhasil melarikan diri menuju
arah kepatihan. Hal ini menyebabkan para pemberontak yang dipimpin
Lurah Jasim ini mengepung rumah kepatihan. Patih Raden Penna dicari oleh
para pemberontak, namun ia tidak ada ditempat. Alhasil, Sadiman selaku
pelayan di kepatihan pun meregang nyawa setelah dihabisi para
pemberontak.
Para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim akhirnya menggiring Wedana
Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan
Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat menuju alun-alun Kota Cilegon untuk
dieksekusi. Salah seorang mantan tahanan politik, Kasidin, meluapkan
amarah dan dendamnya terhadap wedana Cilegon yang saat itu
memenjarakannya. Beberapa dari pemberontak menekankan untuk jangan
menganiaya wedana Cilegon. Akan tetapi, Kasidin melompat ke arah muka
Wedana Cilegon sambil berteriak: “Justru ini yang mesti didahulukan!”
“Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,”
kata kata Achmad Djajadiningrat, seperti dikutip Hendri F. Isnaeni, Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888, di Historia.id.
Setelah menyerang Alfred Dumas, Ulrich Bachet, dan Gubbels. Kini para
pemberontak menyerang Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada
departemen petambangan di Cilegon, dan istrinya, Cecile Wijermans.
Keduanya tewas dibunuh oleh para pemberontak. Mas Asidin (magang yang
diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri
ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten
residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon) juga
turut dihabisi oleh para pemberontak.
Pemberontakan Berakhir Dengan Penumpasan
Setelah Ki Wasyid dan kawan–kawan berhasil merebut Kota Cilegon. Kini
para pemberontak bergegas menuju Kota Serang sebagai salah satu ibu
kota residen. Ki Wasyid beranggapan bahwa keseluruhan wilayah sekitar
Kota Cilegon mesti direbut. Ki Wasyid menekankan pada para pemberontak
bahwa penyerangan ini tidak pandang bulu, baik kolonial maupun pribumi
yang berpihak pada kolonial.
Sementara itu, Bupati Serang, Kontrolir Serang, dan Letnan van ser
Star membawa pasukan bersenjata api 28 buah. Mereka menuju Kota Cilegon
untuk memulai pertempuran di daerah Toyomerto. Pasukan tersebut berhasil
memukul mundur para pemberontak dengan menewaskan 9 orang dari pihak
pemberontak dan sebagian terluka.
Hal ini mampu mematahkan moralitas juang para pemberontak. Peristiwa
ini membuat setiap pasukan induk pemberontak tercerai-berai dan
pemberontakan pun mulai surut.
Sementara itu, Ki Wasyid dan para pasukannya melakukan long march menuju
arah Banten Selatan. Tanggal 30 Juli 1888, ekspedisi tantara kolonial
mengakhiri perjalanan Ki Wasyid dan pasukannya ke daerah Sumur. Para
pemberontak tetap memberikan perlawanan terhadap tantara kolonial
meskipun akhirnya mereka dilumpuhkan. Saat itu, kekuatan tantara
kolonial terbilang kuat. Mulanya dipicu dari isu dikepungnya Kota Serang
oleh 5.000 pemberontak. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial di
Batavia mengirim 1 Batalion tantara yang diturunkan di Pelabuhan
Karangantu.
Akhirnya tentara tolonial membawa beberapa mayat yang
diidentifikasikan sebagai Ki Wasyid, Haji Tubagus Ismail, Haji
Abdulgani, dan Haji Usman. Sementara Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban,
Akhmad, Yahya, dan Saliman, melarikan diri hingga ke Mekah, Arab Saudi.
Dinyatakan, dalam perang sipil ini korban tewas berjumlah 17 orang.
Korban luka – luka yang disebabkan oleh pemberontak berjumlah 7 orang.
Pemberontak yang tewas berjumlah 17 orang. Pemberontak yang terluka
berjumlah 13 orang. Pemberontak yang diasingkan berjumlah 94 orang.
Tempat pembuangan antara lain : Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang,
Salayar, Kema (Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon,
Muntok, Payakumbuh, Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi),
Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi
Selatan).
Gilang Andaruseto Prabowo, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten; Kontributor berdikarionline.com Wilayah Banten
Foto: Para pemberontak Geger Cilegon yang tertangkap pasukan VOC/sumber: KITLV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar