Uga
bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan
prediksi antisipatif dari generasi karuhun untuk dipedomani mengenai kejadian-kejadian
pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga Sunda
secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya
memelihara lingkungan hidup. Orang Baduy di daerah Banten misalnya
mempunyai suaka pemujaan yang disebut Sasakadomas dan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang harus dijaga diraksa ‘harus dipelihara dan dijaga’ dari
kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang dianggap suci ini
harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung
Adat Dukuh di Garut Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang
dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.
Uga
yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam
menjadi korban, termasuk manusia di dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telah dicawiskeun ‘diperuntukkan’, dapat dilihat pada uga di bawah ini,
- Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
- Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.
- Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul bagéanana ka Gunung Cikuray, sabeulahna ka kalér, bagéanana ka Gunung Tangkubanparahu
Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan
mengungsi atau pindah tempat menuju ke tempat yang telah ditentukan,
Tegal Haréndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan
sedangkan Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal
Haréndong adalah suatu tempat yang letaknya sangat samar, hanya
disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.
- Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.
Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan Bandung menjadi kakeueum, talaga
‘terendam air, dan telaga’, diakibatkan oleh keserakahan manusia yang
berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian
hari. Makna dari kata kakeueum dan talaga dapat
menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia,
keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai
lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan
melupakan kearifan lokal, maka Bandung menjadi kakeueum dan talaga,
seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan
Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada
kemungkinan Bandung akan menjadi telaga kembali.
Uga lain yang masih senada,
5 Urang
Bandung mah bakal ka tegal haréndong (ceuk riwayat di daérah pakidulan
Pangaléngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang
Bandung. (dipelakan ku urang pangaléngan tara jadi)
6 Di
daérah Subang aya cabé panayogian nu geus tumoké (tos badé asak), Urang
Bandung lumpat ka Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung
heurin ku tangtung
Setiap
uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang
sesuai dengan perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya,
menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan adanya daerah
(c)awisan atau daerah peruntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan
apabila uga menjadi kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada
korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung dengan hasil
yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah
ditentukan dalam uga, seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.
Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan
yang dianggap sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu
masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah konservasi alam
sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah manusia.
Kearifan lokal yang terlupakan disebabkan oleh :
- Kurangnya minat para pemuda akan tradisi
- Sistem Pendidikan yang lebih mementingkan materi daripada nilai-nilai
- Orang tua yang tidak lagi mentransformasikan nilai-nilai tradisi
- Gaya hidup orang kota lebih banyak ditiru dan mereka melupakan tradisinya.
- Globalisasi
informasi yang siap saji di depan meja mengubah sikap dan perilaku
generasi muda untuk lebih melihat hal-hal yang berbau ‘modern’
Simpulan
Kita
tidak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu fenomena alam,
yang berakibat pada sebuah kejadian yang diprediksi uga. Bila upaya mengantisipasi itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, prediksi uga akan terjadi dan menjadi kenyataan.
Seperti
contoh dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandung atau
rusaknya alam sulit untuk diatasi, tapi dapat diprediksi dengan
memanfaatkan uga di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Karena
itu sangat diperlukan keseimbangan alam, eksploitasi alam tetap harus
mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Adanya uga ini selayaknya
dijadikan momentum untuk membiasakan
langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif. Apabila langkah
reaktif yang temporal dan spasial, maka uga hanya merupakan sebuah
‘karya karuhun’ yang tidak berguna. Justru dengan adanya uga ini
diharapkan para pembuat kebijakan membiasakan diri dengan langkah
antisipatif. Sebab selama ini fenomena alam hanya dipahami sebagai
sebuah kenyataan yang harus diterima begitu saja.
Harapan,
antara pembuat kebijakan ‘pemerintah’ yang harus mampu mengungkap
kearifan masyarakatnya dalam menghadapi fenomena alam ini, apalagi yang
berhubungan dengan lingkungan alam. Begitu pula dengan para ahli yang
menggeluti budaya harus mampu memberikan kontribusi pengetahuannya bagi
pembuat kebijakan. Maka antara keduanya harus ada sinergitas,
pemerintah harus memberikan peluang bagi para ahli dalam menekuni dan
mengembangkan ilmunya demi pembangunan, sehingga pembangunan akan
berbasis kearifan yang ditemukan oleh para ahli itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar