Senin, 24 Februari 2020

Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888

9 Juli 1888 pecah pemberontakan petani Banten atau disebut juga Geger Cilegon. Inilah jalannya pemberontakan dari permulaan sampai penghabisan.

Serangan pembuka
Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari. Sekitar 100 orang pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja, menyerang rumah Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor asisten residen. Dumas melarikan diri dan bersembunyi di rumah tetangganya, seorang jaksa. Istri Dumas terluka dengan dua anak pertamanya berlindung di rumah ajun kolektor. Minah, pembantu Dumas berusaha melindungi anak bungsu majikannya.

Pembagian pasukan
Para pemberontak yang berjumlah ratusan berkumpul di markas di Pasar Jombang Wetan. Haji Wasid, pemimpin utama pemberotak, membagi para pemberontak menjadi tiga pasukan. Pasukan pertama dipimpin Lurah Jasim, seorang jaro Kajuruan, pasukan kedua dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman, dan pasukan ketiga dipimpin Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman. Sasaran serangan: penjara untuk membebaskan tahanan, kepatihan, dan rumah asisten residen di alun-alun Cilegon.

Serangan umum
Haji Tubagus Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang bersembunyi di rumah seorang Tionghoa, Tan Heng Kok. Dumas menjadi korban pertama. Istrinya dan anak laki-lakinya, Alfred Dumas, terluka lalu dibawa oleh ajun kolektor ke kepatihan. Minah dan anak bungsu Dumas ditemukan di tengah sawah dalam keadaan hidup namun luka parah. Anak kecil itu meninggal pada 24 Juli 1888, sedangkan Minah dibawa suaminya, Kamid, ke rumah sakit Serang dan dirawat sampai 13 September 1888. “Babu yang berani itu kemudian dianugerahi bintang perunggu, tanda jasa dan setia. Dia perempuan desa yang untuk pertama kalinya dihiasai dengan bintang jasa,” kata Achmad Djajadiningrat dalam memoarnya.
Pasukan Haji Tubagus Ismail menyerang rumah asisten residen, Johan Hendrik Hubert Gubbels, yang sedang mendampingi residen mengadakan inspeksi ke Anyer. Mereka mendapati dua anak Gubbels, Elly dan Dora, dan menghabisinya dengan kejam.
Haji Usman dan pasukannya menyerang Ulric Bachet, kepala penjualan garam. Bachet bersembunyi di rumah penduduk di belakang rumahnya. Sempat melepaskan tembakan yang menewaskan dua pemberontak, namun akhirnya dia pun dibunuh.
Pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju rumah jaksa dan ajun kolektor. Anak ajun kolektor, Kartadiningrat yang bisa pencak silat, mengadakan perlawanan. Dengan senjata limbukan (gada panjang dari kayu yang berat), Ketjik –nama kecilnya– berhasil melumpuhkan beberapa pemberontak. Namun, dia akhirnya dihabisi oleh para pemberontak yang jumlahnya banyak.
Sebagian pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju penjara dan membebaskan sekitar 20 tahanan. Seorang sipir penjara, Mas Kramadimeja, tewas. Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan kepala penjara, berhasil meloloskan diri menjuju ke kepatihan. Para pemberontak mengepung rumah kepatihan untuk mencari Patih Raden Penna, namun tidak di tempat. Pemberontak membunuh seorang pelayan patih, Sadiman.
Para pemberontak membawa Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat, ke alun-alun untuk dieksekusi. Bekas tahanan, Kasidin, melampiaskan dendamnya kepada wedana Cilegon yang menjebloskannya ke penjara. Beberapa orang bersuara agar jangan menganiaya wedana. Tetapi, Kasidin melompat ke muka sambil berteriak, “justru ini yang mesti didahulukan!” “Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata kata Achmad Djajadiningrat.
Para pemberontak kemudian membunuh Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada departemen petambangan di Cilegon, dan istrinya, Cecile Wijermans. Para pemberontak juga menghabisi Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon).
Gubbels bergegas kembali ke rumahnya di alun-alun Cilegon. Dia lebih baik mati bila anak-anak dan istrinya telah mati. Dia tewas di dalam rumahnya. “Mayatnya kemudian diseret ke luar rumah dan disambut dengan pekik kemenangan yang gemuruh; asisten residen, alat utama pemerintah kolonial, sudah mati,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.

Penumpasan Pemberontakan
Setelah menduduki Cilegon, Haji Wasid memimpin para pemberontak menuju Serang untuk merebut ibukota karesidenan dan menghabisi para pegawainya, baik pribumi maupun Eropa. Sementara itu, bupati dan kontrolir Serang serta Letnan van ser Star membawa sepasukan tentara bersenjatkan 28 senjata api berangkat ke Cilegon. Terjadi pertempuran di Toyomerto. Tentara berhasil memukul para pemberontak dengan menewaskan sembilan orang dan beberapa luka-luka. Para pemberontak terkejut karena untuk kali pertama melihat senapan jenis baru, bukan senapan jenis achterlader yang digunakan untuk menumpas pemberontakan Haji Wakhia pada 1850. Moril kaum pemberontak terpatahkan; pasukan induk bercerai-berai, pemberontakan pun mulai surut. “Oleh karena itu, kekalahan di Toyomerto dapat dianggap sebagai titik balik dalam jalannya pemberontakan itu,” tulis Sartono.
Tersiar sasus ke Batavia bahwa pemberontakan berkobar di seluruh Banten dan Serang dikepung oleh 5.000 pemberontak. Informasi yang samar-samar itu membuat pemerintah di Batavia mengirimkan kekuatan yang begitu kuat. Satu batalion mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu bersamaan, kavaleri juga dalam perjalanan menuju Serang.
Tentara telah menawan ratusan pemberontak, namun para pemimpinnya belum juga ditemukan. Pemerintah pun menjanjikan imbalan 1.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak.
Haji Wasid dengan 27 orang (pemimpin dan pengikut) –kemudian menyusut menjadi 21 orang– memutuskan mundur ke belantara Banten Selatan melalui rute sepanjang pantai barat. Rencana ini, menurut Sartono, didasarkan atas janji yang telah diberikan oleh Haji Marjuki bahwa dia akan kembali dengan Kiai Agung Abdul Karim dan haji-haji terkemuka lainnya dari Mekah untuk menggabungkan diri dalam perjuangan –apabila mereka dapat melanjutkan jihad selama setahun lagi. Pemimpin lain, Haji Madani, Haji Jahli, dan Agus Suradikaria, menolak ikuti ke Banten Selatan dan memisahkan diri.
Pada 17 Juli 1888, Haji Iskak menjadi pemimpin pertama yang tewas setelah menyerang tentara. Beberapa hari kemudian, Haji Madani, Haji Jahli, Agus Suradikaria, Haji Nasiman, Haji Kasiman, dan Haji Arbi, menemui ajalnya.
Sementara itu, Haji Wasid dan pemimpin serta pengikutnya long march ke arah Banten Selatan. Pada 30 Juli 1888, ekspedisi tentara mengakhiri pelarian mereka di daerah Sumur. Para pemberontak memberikan perlawanan meski akhirnya dilumpuhkan. Tentara membawa mayat mereka ke Cilegon dan diidentifikasi sebagai Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Dua mayat jatuh ke sungai dan dinyatakan hilang meski kemudian satu mayat ditemukan. Sementara itu, Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, meloloskan diri. Bahkan, Haji Sapiudin, Haji Kalipudin, dan Haji Abdulhalim, melarikan diri sampai ke Mekah.
“Operasi pengejaran dilancarkan sampai ke Jedah dan Mekah, di mana kiai-kiai Banten yang terkemuka –seperti Haji Abdul Karim dan Haji Marjuki– terus dimata-matai oleh agen Belanda. Sesungguhnya pihak berwajib menganggap kedua haji itu sebagai dalang utama gerakan pemberontakan,” tulis Sartono.

Korban Pemberontakan
Korban tewas oleh pemberontak: 17 orang. Korban luka-luka oleh pemberontak: 7 orang. Pemberontak yang tewas: 30 orang, 11 di antaranya dihukum gantung. Pemberontak yang luka-luka: 13 orang. Pemberontak yang dibuang: 94 orang. Tempat pembuangan: Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Salayar, Kema (Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi), Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi Selatan).

Geger Cilegon 1888, perlawanan rakyat Banten terhadap kezaliman

Geger Cilegon 1888, perlawanan rakyat Banten terhadap kezaliman  
 
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirdjo mengungkapkan pemberontakan besar petani Banten pada 1888 sebagai salah satu bentuk perlawanan warga Banten atas kekuasaan zalim.
Pemberontakan itu datang lima tahun setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883. Letusan Krakatau menimbulkan tsunami setinggi 30 meter yang meluluhlantakkan pantai Barat Jawa dan menghancurkan Anyer, Merak, dan Carita. Sebanyak 36 ribu orang lebih tewas. Musibah itu menambah penderitaan rakyat yang sudah sedemikian terpuruk karena wabah penyakit ternak pada 1879 dan wabah penyakit demam yang menewaskan 10 persen penduduk tahun berikutnya.
Awal mula gerakan muncul pada 2 Oktober 1888, dua bulan setelah letusan. Seorang serdadu Belanda yang hendak membeli tembakau di Pasar Serang tiba-tiba saja diserang oleh seorang lelaki tak dikenal. Korban mencari perlindungan di sebuah toko China sementara pelaku kabur. Penangkapan dilakukan besar-besaran tetapi pelaku tak ditemukan.
Percobaan pembunuhan lainnya terjadi pada 19 November tahun yang sama. Kali ini, seorang pria masuk dengan paksa ke dalam tangsi militer di Serang. Setelah melukai penjaga bernama Umar Jaman, dia ditangkap. Para interogator militer menyatakan dalam laporan mereka bahwa motif serangan adalah kasus semangat ekstrem yang tidak bisa dijelaskan.
Menurut Sartono Kartodirdjo, pada hari-hari malapetaka itu, rakyat teringat kepada ramalan yang telah menyebut berbagai tanda kedatangan hari Kiamat. Rakyat diingatkan oleh Tuhan untuk bertobat serta sadar akan jalan tersesat yang ditempuh umat manusia, yaitu hidup di bawah pemerintahan kaum kafir Belanda.
Sejak peristiwa itu kehidupan beragama meningkat dan harapan rakyat terarah kepada suatu pembebasan. Peristiwa di Serang itu merupakan suatu awal dari periode panjang perjuangan rakyat yang berpuncak pada 1888 dengan sebutan pemberontakan petani Banten atau Geger Cilegon. Pemberontakan itu dianggap sebagai titik balik sejarah perjuangan mengusir penjajah dari tanah Banten.
Di antara pejuang pada pemberontakan petani Banten antara lain Haji Wasid, Haji Abdul Karim, Haji Akib, dan Ki Tubagus Ismail. Menurut Sartono, meskipun mereka pejuang yang namanya tidak begitu terkenal mereka adalah tokoh sejarah asal Banten yang mengorbankan jiwa demi tegaknya martabat Indonesia. Berikut kisah pada pahlawan dari Banten seperti dirangkum merdeka.com diambil dari buku Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirdjo:
1 dari 3 halaman

Haji Abdul Karim


Haji Abdul Karim adalah ulama besar di Banten yang paling menonjol saat gerakan pemberontakan. Dia dianggap sebagai orang suci di mata rakyat Banten. Dia tampil sebagai tokoh yang dominan di kalangan elite agama. Dia mendirikan pesantren yang didatangi banyak murid untuk berguru dalam waktu singkat. Selain rakyat, dia juga berhasil meyakinkan pejabat pamong praja untuk mendukung gerakannya.

Bupati Serang, penghulu kepala di Serang dan seorang pensiunan patih Haji RA Prawiranegara adalah sahabat-sahabatnya yang sangat terkesan oleh ide-idenya. Berkat kedudukan yang luar biasa, khotbah Haji Abdul Karim mempunyai [engaruh yang esar terhadap penduduk. Dia dianggap sebagai wali Allah yang dianugerahi barakat dan oleh karena itu seorang keramat. Di kemudian hari dikenal sebagai Kiyai Agung.

Keberadaannya tentu menjadi ancaman yang mencemaskan pemerintah kolonial. Gelombang kebencian pun muncul terhadap orang-orang Eropa. Pemusnahan kekuasaan asing menjadi tujuan gerakan Haji Abdul Karim. Kepada murid-muridnya, dia mengatakan tidak akan kembali ke Banten selama masih terbelenggu kekuasaan asing. Maka kemudian berangkatlah dia ke Mekkah, tanah airnya yang kedua dengan diantar oleh ribuan rakyat Banten.

Dia memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya karisma.

Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk berontak.
2 dari 3 halaman

Haji Tubagus Ismail


Dia dikenal sebagai murid Haji Abdul Karim. Sekembali dari Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di kampung halamannya, Gulacir. Seperti terlihat dari namanya, dia termasuk sebagai kaum bangsawan Banten yang telah kehilangan pengaruh politik namun masih memiliki prestise sosial di kalangan penduduk.

Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali. Dia tidak mencukur rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak pernah makan apa-apa. Dia juga cucu Tubagus Urip, yang sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail sudah punya banyak pengikut dan kepemimpinannya semakin diakui di Banten.

Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, ia pun segera melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kolonial. Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan, rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.

Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan

Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu.
3 dari 3 halaman

Haji Wasid


Tokoh penting lain dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf. Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat.
Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah.

Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke tahayul. Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden. Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.

Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkannya menara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.

Bersama Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid memimpin pemberontakan di Cilegon. Berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pemberontak. Tetapi seorang pembantu rumah tangga Goebels dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan.
Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang.

Perang Geger Cilegon 1888, Pemberontakan Umat Islam Pada Penjajah Belanda

Para pemberontak Geger Cilegon yang tertangkap pasuka.

Penyebab Meletusnya Pemberontakan
Pemberontakan ini dikenal sebagai Geger Cilegon dilatarbelakangi kesewenang-wenangan Belanda yang mulai menguasai Banten setelah Kesultanan Banten dihapus tahun 1813.
Kebencian masyarakat makin memuncak saat  dua musibah melanda yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.
Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).

Pembagian pasukan
Para pemberontak yang berjumlah ratusan berkumpul di markas di Pasar Jombang Wetan. Haji Wasid, pemimpin utama pemberotak, membagi para pemberontak menjadi tiga pasukan. Pasukan pertama dipimpin Lurah Jasim, seorang jaro Kajuruan, pasukan kedua dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman, dan pasukan ketiga dipimpin Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman. Sasaran serangan: penjara untuk membebaskan tahanan, kepatihan, dan rumah asisten residen di alun-alun Cilegon.
Serangan umum

Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari. Sekitar 100 orang pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja, menyerang rumah Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor asisten residen. Dumas melarikan diri dan bersembunyi di rumah tetangganya, seorang jaksa. Istri Dumas terluka dengan dua anak pertamanya berlindung di rumah ajun kolektor. Minah, pembantu Dumas berusaha melindungi anak bungsu majikannya.

Haji Tubagus Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang bersembunyi di rumah seorang Tionghoa, Tan Heng Kok. Dumas menjadi korban pertama. Istrinya dan anak laki-lakinya, Alfred Dumas, terluka lalu dibawa oleh ajun kolektor ke kepatihan. Minah dan anak bungsu Dumas ditemukan di tengah sawah dalam keadaan hidup namun luka parah.
Anak kecil itu meninggal pada 24 Juli 1888, sedangkan Minah dibawa suaminya, Kamid, ke rumah sakit Serang dan dirawat sampai 13 September 1888. “Babu yang berani itu kemudian dianugerahi bintang perunggu, tanda jasa dan setia. Dia perempuan desa yang untuk pertama kalinya dihiasai dengan bintang jasa,” kata Achmad Djajadiningrat dalam memoarnya.
Pasukan Haji Tubagus Ismail menyerang rumah asisten residen, Johan Hendrik Hubert Gubbels, yang sedang mendampingi residen mengadakan inspeksi ke Anyer. Mereka mendapati dua anak Gubbels, Elly dan Dora, dan menghabisinya dengan kejam.
Haji Usman dan pasukannya menyerang Ulric Bachet, kepala penjualan garam. Bachet bersembunyi di rumah penduduk di belakang rumahnya. Sempat melepaskan tembakan yang menewaskan dua pemberontak, namun akhirnya dia pun dibunuh.
Pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju rumah jaksa dan ajun kolektor. Anak ajun kolektor, Kartadiningrat yang bisa pencak silat, mengadakan perlawanan. Dengan senjata limbukan (gada panjang dari kayu yang berat), Ketjik –nama kecilnya– berhasil melumpuhkan beberapa pemberontak. Namun, dia akhirnya dihabisi oleh para pemberontak yang jumlahnya banyak.
Sebagian pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju penjara dan membebaskan sekitar 20 tahanan. Seorang sipir penjara, Mas Kramadimeja, tewas. Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan kepala penjara, berhasil meloloskan diri menuju ke kepatihan. Para pemberontak mengepung rumah kepatihan untuk mencari Patih Raden Penna, namun tidak di tempat. Pemberontak membunuh seorang pelayan patih, Sadiman.
Para pemberontak membawa Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat, ke alun-alun untuk dieksekusi. Bekas tahanan, Kasidin, melampiaskan dendamnya kepada wedana Cilegon yang menjebloskannya ke penjara. Beberapa orang bersuara agar jangan menganiaya wedana. Tetapi, Kasidin melompat ke muka sambil berteriak, “justru ini yang mesti didahulukan!” “Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata kata Achmad Djajadiningrat.
Para pemberontak kemudian membunuh Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada departemen petambangan di Cilegon, dan istrinya, Cecile Wijermans. Para pemberontak juga menghabisi Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri uluatau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon).
Gubbels bergegas kembali ke rumahnya di alun-alun Cilegon. Dia lebih baik mati bila anak-anak dan istrinya telah mati. Dia tewas di dalam rumahnya. “Mayatnya kemudian diseret ke luar rumah dan disambut dengan pekik kemenangan yang gemuruh; asisten residen, alat utama pemerintah kolonial, sudah mati,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Penumpasan Pemberontakan
Setelah menduduki Cilegon, Haji Wasid memimpin para pemberontak menuju Serang untuk merebut ibukota karesidenan dan menghabisi para pegawainya, baik pribumi maupun Eropa. Sementara itu, bupati dan kontrolir Serang serta Letnan van ser Star membawa sepasukan tentara bersenjatkan 28 senjata api berangkat ke Cilegon. Terjadi pertempuran di Toyomerto. Tentara berhasil memukul para pemberontak dengan menewaskan sembilan orang dan beberapa luka-luka. Para pemberontak terkejut karena untuk kali pertama melihat senapan jenis baru, bukan senapan jenis achterlader yang digunakan untuk menumpas pemberontakan Haji Wakhia pada 1850. Moril kaum pemberontak terpatahkan; pasukan induk bercerai-berai, pemberontakan pun mulai surut. “Oleh karena itu, kekalahan di Toyomerto dapat dianggap sebagai titik balik dalam jalannya pemberontakan itu,” tulis Sartono.
Tersiar sasus ke Batavia bahwa pemberontakan berkobar di seluruh Banten dan Serang dikepung oleh 5.000 pemberontak. Informasi yang samar-samar itu membuat pemerintah di Batavia mengirimkan kekuatan yang begitu kuat. Satu batalion mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu bersamaan, kavaleri juga dalam perjalanan menuju Serang.
Tentara telah menawan ratusan pemberontak, namun para pemimpinnya belum juga ditemukan. Pemerintah pun menjanjikan imbalan 1.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak.
Haji Wasid dengan 27 orang (pemimpin dan pengikut) –kemudian menyusut menjadi 21 orang– memutuskan mundur ke belantara Banten Selatan melalui rute sepanjang pantai barat. Rencana ini, menurut Sartono, didasarkan atas janji yang telah diberikan oleh Haji Marjuki bahwa dia akan kembali dengan Kiai Agung Abdul Karim dan haji-haji terkemuka lainnya dari Mekah untuk menggabungkan diri dalam perjuangan –apabila mereka dapat melanjutkan jihad selama setahun lagi. Pemimpin lain, Haji Madani, Haji Jahli, dan Agus Suradikaria, menolak ikuti ke Banten Selatan dan memisahkan diri.
Pada 17 Juli 1888, Haji Iskak menjadi pemimpin pertama yang tewas setelah menyerang tentara. Beberapa hari kemudian, Haji Madani, Haji Jahli, Agus Suradikaria, Haji Nasiman, Haji Kasiman, dan Haji Arbi, menemui ajalnya.
Sementara itu, Haji Wasid dan pemimpin serta pengikutnya long march ke arah Banten Selatan. Pada 30 Juli 1888, ekspedisi tentara mengakhiri pelarian mereka di daerah Sumur. Para pemberontak memberikan perlawanan meski akhirnya dilumpuhkan. Tentara membawa mayat mereka ke Cilegon dan diidentifikasi sebagai Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Dua mayat jatuh ke sungai dan dinyatakan hilang meski kemudian satu mayat ditemukan. Sementara itu, Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, meloloskan diri. Bahkan, Haji Sapiudin, Haji Kalipudin, dan Haji Abdulhalim, melarikan diri sampai ke Mekah.
“Operasi pengejaran dilancarkan sampai ke Jedah dan Mekah, di mana kiai-kiai Banten yang terkemuka –seperti Haji Abdul Karim dan Haji Marjuki– terus dimata-matai oleh agen Belanda. Sesungguhnya pihak berwajib menganggap kedua haji itu sebagai dalang utama gerakan pemberontakan,” tulis Sartono.

Korban Pemberontakan
Korban tewas oleh pemberontak: 17 orang. Korban luka-luka oleh pemberontak: 7 orang. Pemberontak yang tewas: 30 orang, 11 di antaranya dihukum gantung. Pemberontak yang luka-luka: 13 orang. Pemberontak yang dibuang: 94 orang. Tempat pembuangan: Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Salayar, Kema (Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi), Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi Selatan)

Peristiwa Geger Cilegon 1888


PERISTIWA GEGER CILEGON 1888

Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat.
Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872.
Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”.

Dalam mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia.
Sebagai ganti pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti :
  • Kiyai Haji Wasid dari Beji,
  • Haji Abu Bakar dari Pontang,
  • Haji Syadeli dari Kaloran,
  • Haji Iskhak dari Saneja,
  • Haji Usman dari Tunggak,
  • Haji Asnawi dari Lempuyang,
  • Haji Muhammad Asyik dari Bendung.
Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti Tangerang, Bogor dan Batavia.

1. Beberapa Peristiwa Yang Mendahului Geger Cilegon
Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon.
Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari.
Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat.
Dengan memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.
Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat.
Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa “tadah hujan” menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.
Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat, menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan.
Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula.
Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu.
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).
Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do’a.
Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), ─ yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan.
Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan rakyat.
Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000.
Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa ─ yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut ─ menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah.
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu.
Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari.
Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden. Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan “masyarakat” kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh.
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena ‘Tuhan tidak tuli’. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.

2. Jalannya “Pemberontakan”
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju “pembe-rontakan” di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
  • 4 Pebruari ─ 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di rumah H. Iskak di Saneja.
  • Maret ─ April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.
  • 23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri tarekat adiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9 Juli 1888.
Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain :
  • Akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra Bupati Pandeglang dan putri Bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat,
  • Awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer,
  • Adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk,
  • Dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara,
  • Beredarnya desas-desus larangan berdo’a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan dan khitanan.
Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa’id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon).
Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir.
Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain.
Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid ─ di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir ─ yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.
Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ─ yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan.
Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial.
Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.
Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen.
Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-303).
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat.
Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA. Djajadiningrat “tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain” (1936:55), sehingga ia termasuk “orang yang tidak berdosa” (1936:56).
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan “pemberontak”. Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon.
Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Kejadian “Geger Cilegon” itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah.
Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemimpin kharismatik yakni para kiyai dan ulama.
Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak. Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan itu.
Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial “merambah” dalam kehidupan keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia.
Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda.
Partai-partai di parlemen Belanda dapat dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan pemerintah Belanda.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta.
Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan “politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.
Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin berkurang.
Karena itulah “zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang”. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi pemerintahan Belanda.
Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai “setan”, “kapir landa” ─ sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.
Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen. Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam.
Bahkan beredar fatwa yang menyatakan bahwa berpakaian ala Eropa ─ lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai “anjing belanda”.
Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah Belanda).
Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang.
Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi…..
—————– kembali kehalaman pertama —————–

Bagikan ini:

ASAL USUL SITU RAWA ARUM, GROGOL, CILEGON, BANTEN




LEGENDA RAKYAT BANTEN
ASAL USUL SITU RAWA ARUM, GROGOL, CILEGON, BANTEN
Situ Rawa Arum yang berada di Kecamatan Grogol , Kota Cilegon merupakan danau tanpa sumber mata air. Danau tersebut menebarkan aroma bunga teratai putih terutama di malam hari. Menurut legenda, danau tersebut sebelumnya merupakan sebuah desa yang tenggelam dan tidak pernah muncul kembali.
Kota Cilegon dikenal sebagai kota baja, ini setelah berdirinya PT Krakatau Steel (KS) sebagai sebuah perusahaan baja internasional sejak (1970). Namun, sebelumnya daerah di ujung barat Provinsi Banten ini lebih dikenal sebagai daerah rawa, nama Cilegon sendiri berasal dari kata “CI” yang berasal dari kata “CAI” yang artinya air. Dan “LEGON” yang berarti lengkungan.
Cilegon bisa dikatakan sebagai kubangan air atau rawa-rawa, hal ini sesuai dengan banyaknya tempat di Cilegon yang menggunakan kata Kubang dan Rawa seperti Kubang Sepat, Kubang Menyawak, Kubang Lesung, dll. Salah satu nama daerah di Kota Cilegon yang menggunakan kata Rawa adalah Kelurahan Rawa Arum, nama salah satu kelurahan di Kecamatan Grogol itu berasal dari sebuah nama danau daerah tiu, yaitu Situ Rawa Arum.
Situ Rawa Arum merupakan satu-satunya danau di Kota Cilegon. Namun saying, keberadannya tidak telalu dikenal masyarakat secara umum. Padahal, danau tersebut memiliki panorama yang sangat indah, letaknya pun sangat strategis lantaran berada diantara jalur Cilegon-Pulomerak.
Danau yang letaknya hanya 3 kilometer dari Pintu Tol Pulomerak selama ini hanya dikunjungi oleh para pemancing loka. Namun dibalik ketidakpopuleran danau  tanpa mata air tersebt terdapat sebuah legenda yang cukup menarik untuk kita ketahui.
Menurut sesepuh di Lingkungan Tegal Wangi, Kelurahan Rawa Arum. Legenda ini bermulai ketika Ki Ageng Ireng, seorang tokoh besar di daerah itu, memimpin sebuah desa bernama Tegalega. Desa Tegalega itu berdiri pada zaman kesultanan Banten. Desa itu cukup makmur, masyarakat tidak pernah kekurangan pangan lantaran meimiliki pesawahan yang luas. Desa itu juga terletak tidak jauh dari perairan Selat Sunda sehingga masyarakat bisa pergi kelaut untuk menangkap ikan. Sehingga masyarakat di desa tersebut hidup sejahtera.
Namun, desa tersebut mengalami bencana besar ketika terjadi letusan maha dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883. Letusan gunung dengan efek 130.000 kali bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, telah menyebabkan tsunami besar dan meluluhlantakkan Desa Tegalega. Warga yang tinggal di Desa Tegalega itu berhasil menyelamatkan diri dari tsunami dengan berlari ke perbukitan sekitar Pulomeraksebelum tsunami itu menenggelamkanseluruh daratan di pesisir Selat Sunda, termasuk Desa Tegalega.
Ki Ageng Ireng kemudian memerintahkan seluruh masyarakat Dsebuah kolam besar. esa Tegalega kembali ke pengungsian menuju desa bebeapa minggu setelah tsunami. Namun, betapa kagetnya, desa mereka telah hilang dari permukaan bumi.
Desa yang sebelumnya menjadi tempat tinggal mereka kini sudah tertutup oleh air laut. Tampaknya, gempa bumi dari letusan vulkanik Gunung Krakatau telah membuat Desa Tegalega amblas dan kemudian terisi air laut yang terbawa oleh tsunami dan terbentuklah  sebuah kolam besar. Warga Desa Tegalega mengalami kesedihan yang mendalam karena desa mereka tenggelam oleh air laut. Melihat kondisi ini, Ki Ageng Ireng meminta seluruh warga tinggal di pinggiran kolam besar itu.
Warga Desa Tegalega pun akhirnya tinggal di pinggiran danau, sambil berharap air laut yang membanjiri desa mereka surut. Sayangnya, harapan mereka tersebut tidak pernah terjadi lantaran air tersebut tidak pernah surut. Setelah beberapa bulan berlalu, Ki Ageng Ireng heran karena air tidak pernah kering. Bahkan rasa air yang sebelumnya asin berubah menjadi tawar karena terus menerus diguyur hujan.
Desa Tegalega akhirnya tenggelam dan berubah menjadi sebuah danau akibat  letusan Gunung Krakatau. Seiring waktu, tumbuh bunga teratai putih di tengah-tengah danau dan menyebabkan bau wangi yang semerbak kepada penduduk Desa Tegalega yang tinggal di sekitar danau. Melihat perubahan yang terjadi, akhirnya Ki Ageng Ireng member nama danau tersebut Situ Rawa Arum. Ia pun membawa sejumlah bibit ikan yang disebarkan disekitar danau agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dan begitulah asal-usul Situ Rawa Arum.
Begitulah legenda Situ Rawa Arum yang berada di kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Namun saying, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan danau tersebut. Hanya segelintir orang saja yang mengetahui cerita rakyat tersebut.

ASAL USUL KOTA CILEGON, BANTEN


ASAL USUL KOTA CILEGON, BANTEN
Kota Cilegon adalah sebuah kota di provinsi Banten, Indonesia. Cilegon berada di ujung barat laut pulau jawa, di tepi Selat Sunda. Kota cilegon dikenal sebagai kota industry. Sebutan lain bagi kota cilegon adalah kota baja mengingat kota ini merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara karena sekitar 6 juta ton baja dihasilkan setiap tahunnya di kawasan industry Krakatau Steel, Cilegon. 
Kota Cilegon dikenal sebagai kota baja, ini setelah berdirinya PT Krakatau Steel (KS) sebagai sebuah perusahaan baja internasional sejak (1970). Namun, sebelumnya daerah di ujung barat Provinsi Banten ini lebih dikenal sebagai daerah rawa, nama Cilegon sendiri berasal dari kata “CI” yang berasal dari kata “CAI” yang artinya air. Dan “LEGON”  atau "MELEGON" yang berarti LENGKUNGAN (H.M.A. Tihami). CILEGON bisa diartikan sebagai kubangan air atau rawa-rawa.
Hal ini sesuai dengan banyaknya nama tempat di Cilegon yang menggunakan nama KUBANG. Seperti: Kubang Sepat, Kubang Lele, Kubang Welut, Kubang Welingi, Kubang Lampit, Kubang Lampung, Kubang Menyawak, Kubang Bale, Kubang Lesung, Kubang Lumbra, Kubang Kutu, Kubang Saron, Kubang Wates, Kubang Sari, dan yang lainnya.
Sepintas penyebutan kata LEGON mirip dengan kata "LAGUNA" atau "LAGOON" dalam bahasa Inggris yang berarti danau kecil atau tasik yg dikelilingi oleh karang atau pasir yg menutup pesisir atau muara sungai.
Cilegon pada Abad-16 merupakan sebuah kampung kecil yang dikelilingi rawa-rawa atau kubang-kubang yang berubah dan berkembang menjadi area
persawahan dan pemukiman. (BC)
Pernahkah kita mengetahui bahwasanya di daerah cilegon ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang sangat makmur. (mengutip dari sebuah buku Harian Banten, Jejak sejaran di tanah Banten). “sebuah literature dari kerajaan china dan literature dari kerajaan india mengatakan bahwa sebelum terjadinya letusan maha dahsyat gunung Krakatau purba yang hingga pada akhirnya memisahkan sebuah daratan antara pulau jawa dengan pulau sematera pernah berdiri sebuah kerajaan yang sangat makmur bernama LIGION yang dipimpin oleh seorang raja yang bijak dimana kemakmuran dan kedamaian dirasakan oleh masyarakatnya hingga sampai terjadinya letusan maha dahsyat yang akhirnya mengubur kerajaan tersebut”. Namun didalam buku tersebut tidak diberi keterangan waktunya.
Selain itu ada juga sejarah tentang penjajahan pada zaman daulu di kota cilegon. Peristiwa perlawanan yang mengesankan pada awal abad 19 adalah
peristiwa Geger Cilegon, yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888.
Peristiwa tersebut dipimpin oleh para alim ulama. Diantaranya
adalah : Haji Abdul karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan
Haji Wasid. Sepulangnya Haji Abdul Karim dari Makkah, beliau banyak
mengajarkan tarekat di kampungnya, Lempuyang. Selain itu beliau juga
menanamkan nasionalisme kepada para pemuda untuk melawan para
penjajah yang kafir.
Sementara itu KH. Wasid yang pernah belajar pada Syekh Nawawi Al
Bantani mengajarkan ilmunya di pesantrenya di Beji-Bojonegara.
Bersama teman seperjuangannya yakni : Haji Abdurrahman, Haji Akib,
Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qashir dan Haji Ismail,
mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam ke masyarakat. Pada saat
itu Banten sedang dihadapi bencana besar. Setelah meletusnya Gunung
Karakatau pada tahun 1883 yang merenggut 20.000 jiwa lebih, disusul
dengan berjangkitnya wabah penyakit hewan (1885) pada saat itu
masyarakat banyak yang percaya pada tahayul dan perdukunan. Di desa
Lebak Kelapa terdapat satu pohon besar yang sangat dipercaya oleh
masyarakat memiliki keramat. Berkali-kali H. Wasid memperingati
masyarakat. Namun bagi masyarakat yang tidak mengerti agama, fatwanya
itu tidak diindahkan. H. Wasid tidak dapat membiarkan kemusrikan
berada didepan matanya. Bersama beberapa muridnya, beliau menebang
pohon besar tersebut. Kejadian inilah yang menyebabkan beliau dibawa
ke pengadilan (18 Nopember 1887), beliau didenda 7,50 gulden. Hukuman
tersebut menyinggung rasa keagamaan dan harga diri murid-murid dan
para pendukungnya. Selain itu, penyebab terjadinya peristiwa
berdarah, Geger Cilegon adalah dihancurkannya menara langgar di desa
Jombang Wetan atas perintah Asisten Residen Goebel. Goebel menganggap
menara tersebut mengganggu ketenangan masyarakat, karena kerasnya
suara. Selain itu Goebel juga melarang Shalawat, Tarhim dan Adzan
dilakukan dengan suara yang keras. Kelakuan kompeni yang keterlaluan
membuat rakyat melakukan pemberontakan.
Pada tanggal 7 Juli 1888, diadakan pertemuan di rumahnya Haji Akhia
di Jombang Wetan. Pertemuan tersebut untuk mematangkan rencana
pemberontakan. Pada pertemuan tersebut hadir beberapa ulama dari
berbagai daerah. Diantaranya adalah : Haji Said (Jaha), Haji Sapiudin
(Leuwibeureum), Haji Madani (Ciora), Haji Halim (Cibeber),
Haji Mahmud (Terate Udik), Haji Iskak (Saneja), Haji Muhammad Arsad
(Penghulu Kepala di Serang) dan Haji Tb Kusen (Penghulu Cilegon).
Pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan umum. Dengan
memekikan Takbir para ulama dan murid-muridnya menyerbu beberapa
tempat yang ada di Cilegon. Pada peristiwa tersebut Henri Francois
Dumas – juru tulis Kantor Asisten residen – dibunuh oleh Haji Tubagus
Ismail. Demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan Hendrik Hubert
Gubbels, Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka adalah orang-orang
yang tidak disenangi oleh masyarakat.Cilegon dapat dikuasi oleh para
pejuang “Geger Cilegon”. Tak lama kemudian datang 40 orang serdadu
kompeni yang dipimpin oleh Bartlemy. Terjadi pertempuran hebat antara
para pejuang dengan serdadu kompeni. hingga akhirnya pemberontakan
tersebut dapat dipatahkan. Haji Wasid dihukum gantung. Sedangkan yang
lainnya dihukum buang. Diantaranya adalah Haji Abdurrahman dan Haji
Akib dibuang ke Banda. Haji Haris ke Bukittinggi Haji Arsyad thawil
ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke flores,
selainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon dan lain-
lain. (Semua pemimpin yang dibuang berjumlah 94 orang).
Walaupun pemberontakkan itu dapat dimentahkan oleh Belanda, namun
yang terpenting bahwa saat itu membuktikan bahwa “RAKYAT BANTEN ANTI
PENJAJAHAN”.

Sejarah Terbentuknya Kota Cilegon

 Sejarah kota Cilegon tidak dipisahkan dari sejarah Banten pada umumnya, karena kota Cilegon merupakan bagian dari wilayah kesultanan Banten. Dalam uraian ini menerangkan sejarah singkat terbentuknya kota Cilegon. Cilegon pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa (Tahun 1651-1672) Pada Tahun 1651 Cilegon merupakan kampung kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Banten pada masa Kerajaan Sultan Ageng Tirtayasa (Th. 1651-1672). Pada masa itu wilayah Cilegon masih berupa tanah rawa yang belum banyak didiami orang. Namun sejak masa keemasan Kerajaan Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa dilakukan pembukaan daerah di Serang dan Cilegon yang dijadikan persawahan. Sejak saat itu banyak pendatang yang menetap di Cilegon sehingga masyarakat Cilegon sudah heterogen.
info cilegonCilegon pada Masa Pembentukan Districh Cilegon (Kewedanaan Cilegon) Sejak dibentuknya Districh Cilegon Tahun 1816, perkembangan Cilegon sangat pesat sehingga yang semula merupakan kampung kecil menjadi Kewedanaan. Kantor Districh Cilegon (Kewedanaan Cilegon) masih ada dan berdiri dengan kokoh sampai sekarang. Cilegon pada Masa Pemberontakan Geger Cilegon Pada Tanggal 9 Juli 1888 terjadi puncak perlawanan rakyat Cilegon kepada kolonial Belanda yang dipimpin oleh KH. Wasid yang dikenal dengan pemberontakan Geger Cilegon. Pemberontakan Geger Cilegon mengilhami perjuangan rakyat untuk membebaskan dari penindasan penjajah Belanda dan melepaskan diri dari kelaparan akibat tanam paksa pada masa itu. Cilegon pada Masa Tahun 1924 Pada Tahun 1924, di Kewedanaan Cilegon talah ada perguruan pendidikan yang berbasis Islam yang menonjol yaitu Perguruan Al-Khaeriyah dan Madrasah Al-Jauharotunnakiyah Cibeber. Perguruan Al-Khaeriyah dan Al-Jauharotunnakiyah Cibeber berkembang dengan pesat dan melahirkan tokoh-tokoh pendidikan yang berbasis Islam di Cilegon.
Sampai dengan saat ini Perguruan Al Khaeriyah dan Madrasah Al-Jauharotunnakiyah Cibeber masih eksis yang berlokasi di Desa Citangkil dan Desa Cibeber. Cilegon pada Masa Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 Seperti rakyat Indonesia lain, rakyat Cilegon pada masa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia telah menunjukkan semangat juangnya. Hal ini terlepas diilhami semangat juang KH. Wasid pada masa pemberontakan Geger Cilegon. Jiwa patriotisme rakyat Cilegon dan Banten pada umumnya di zaman revolusi fisik mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah ditunjukkan terkenal dengan Tentara Banten. Cilegon Memasuki Era Tahun 1962 Sejak hadirnya Pabrik Baja TRIKORA pada Tahun 1962 di Cilegon merupakan babak baru bagi era industri di wilayah Cilegon. Perkembangan yang cepat industri baja TRIKORA tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 pada tanggal 31 Agustus 1970 berubah menjadi Pabrik Baja PT. Krakatau Steel Cilegon berikut anak perusahaannya. Perkembangan industri yang pesat di Cilegon berdampak pula terhadap sektor lainnya seperti perdagangan, jasa dan jumlah penduduk yang terus meningkat. Mata pencaharian penduduk Cilegon yang semula sebagian besar adalah petani berubah menjadi buruh, pedagang dan lain sebagainya.
logo cilegonKota Cilegon yang merupakan kota sedang yang memiliki potensi kota besar dengan segala fasilitas sarana dan prasarana perhubungan laut antara lain adanya pelabuhan penyeberangan (Ferry), Pelabuhan Umum, Pelabuhan Khusus. Perubahan Kewedanaan Cilegon menjadi Kota Administratif Cilegon Tahun 1987 Kewedanaan Cilegon wilayahnya meliputi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Cilegon, Kecamatan Bojonegara dan Kecamatan Pulomerak. Dengan perkembangan pembangunan yang sangat cepat terutama dengan adanya sentra industri baja PT. Krakatau Steel beserta seluruh anak perusahaannya diikuti hadirnya pabrik-pabrik seperti PLTU Suralaya, PT. Chandra Asri dan lain-lain telah mempengaruhi kondisi budaya dan penggunaan lahan dari daerah persawahan dan peladangan menjadi daerah industri, perdagangan, jasa dan perumahan serta pariwisata. Sejalan dengan pertumbuhan Kota Cilegon yang cepat itu, maka dibutuhkan pelayanan umum yang lebih cepat, terarah dan sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat kota. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1986 tanggal 17 September 1986 Kewedanaan Cilegon menjadi Kota Administratif Cilegon dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Juli 1987, meliputi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Cilegon, Pulomerak, dan Ciwandan serta dirangkaikan dengan pelantikan Walikotatif oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1992 pada tanggal 11 Januari 1992 Kecamatan Cilegon dimekarkan menjadi Kecamatan Cilegon dan Cibeber.
Sehingga Kota Administratif Cilegon meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu Cilegon, Cibeber, Pulomerak dan Ciwandan. Cilegon Menjadi Kotamadya Tahun 1999 Kota Administratif Cilegon yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Serang dalam perkembangannya tumbuh sebagai kota industri bagi wilayah barat bagian Jawa Barat. Di Kota Cilegon saat ini terdapat industri berat dan menengah dalam kapasitas regional dan nasional. Kota Cilegon juga merupakan jalur lalu lintas penghubung antara Pulau Jawa dan Sumatera dengan pelabuhan penyeberangan Merak. Kesemuanya ini menjadikan Kota Cilegon fungsinya semakin berkembang, disamping sebagai kota industri juga sebagai kota transito, perdagangan dan jasa. Melihat kedudukan Kota Cilegon sangat strategis ditinjau dari segi politik, sosial budaya serta pertahanan keamanan, maka untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, Kota Administratif Cilegon dibentuk menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 (Lembaran Negara 3828) tanggal 20 April 1999 yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid pada tanggal 27 April 1999 dan dirangkaikan dengan pengangkatan penjabat Walikotamadya Daerah Tingkat II Cilegon yakni H. Tb. Riva’i Halir. Menjadi Kota Cilegon Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839), maka penyebutan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon berubah menjadi Kota Cilegon. Pada tanggal 4 September 1999 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cilegon diresmikan, yang keanggotaanya berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 , dengan Ketua DPRD Kota Cilegon H. Zaidan Riva’i. Pada tanggal 28 Februari 2000 dilakukan pemilihan Walikota definitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cilegon secara demokrasi dan terpilih menjadi Walikota pertama Kota Cilegon adalah H. Tb. Aat Syafa’at dengan didampingi oleh Wakil Walikota Cilegon yaitu H. Djoko Munandar. Atas nama Menteri Dalam Negeri, maka Gubernur Jawa Barat H.R. Nuriana melantik secara resmi Walikota Cilegon pada tanggal 7 April 2000.
Dalam perjalanannya, Wakil Walikota Cilegon, Dr. Djoko Munandar, M.Eng mencalonkan diri menjadi Gubernur Banten, dan terpilih menjadi Gubernur Banten. Dengan demikian, jabatan Wakil Walikota Cilegon menjadi kosong. Peluang yang diberikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah semakin memberikan keleluasaan bagi Kota Cilegon untuk mewujudkan cita-cita masyarakat. Pada tanggal 5 Juni 2005, masyarakat Kota Cilegon menggelar pesta demokrasi untuk memilih secara langsung Walikota dan Wakil Walikota. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah berjalan dengan aman, lancar dan terkendali. Pada tanggal 10 Juni 2005, KPUD Kota Cilegon menetapkan pasangan H. Tb. Aat Syafa’at, S.Sos, M.Si dan Drs. H. Rusli Ridwan, M.Si sebagai Walikota dan Wakil Walikota Cilegon periode 2005 – 2010. Pada tanggal 20 Juli 2005, pasangan H. Tb. Aat Syafa’at, S.Sos, M.Si dan Drs. H. Rusli Ridwan, M.Si dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota Cilegon oleh Gubernur Banten Dr. H. Djoko Munandar, M.Eng atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.